Jumat, 18 Desember 2015

Kemajemukan Di Indonesia Dari Segi Konsensus/ kesepakatan yang disetujui

Indonesia Masyarakat Majemuk 

Dalam pembahasan sebelumnya telah dipaparkan mengenai potensi keberagaman budaya di Indonesia. Indonesia adalah sebuah masyarakat majemuk (plural society), yaitu sebuah masyarakat yang terdiri atas masyarakat-masyarakat suku bangsa yang dipersatukan oleh sistem nasional sebagai sebuah masyarakat negara dan sebagai bangsa atau nasional. Yang menjadi sebuah pertanyaan besar adalah dampak dari keberagaman budaya bagi integrasi bangsa. Di dalam potensi keberagaman budaya tersebut sebenarnya terkandung potensi disintegrasi, konflik, dan separatisme sebagai dampak dari negara kesatuan yang bersifat multietnik dan struktur masyarakat Indonesia yang majemuk dan plural. Menurut David Lockwood konsensus dan konflik merupakan dua sisi mata uang karena konsensus dan konflik adalah dua gejala yang melekat secara bersama-sama di dalam masyarakat. Sejak merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945, Indonesia selalu diwarnai oleh gerakan separatisme, seperti gerakan separatis DI/TII dan RMS di Maluku. Gerakan tersebut saat ini juga berlangsung di Provinsi Papua yang dilakukan oleh OPM (Organisasi Papua Merdeka) di provinsi paling timur di Indonesia tersebut. Karena struktur sosial budayanya yang sangat kompleks, Indonesia selalu berpotensi menghadapi permasalahan konflik antaretnik, kesenjangan sosial, dan sulitnya terjadi integrasi nasional secara permanen. Hal tersebut disebabkan adanya perbedaan budaya yang mengakibatkan perbedaan dalam cara pandang terhadap kehidupan politik, sosial, dan ekonomi masyarakat. Menurut Samuel Huntington, Indonesia adalah negara yang mempunyai potensi disintegrasi paling besar setelah Yugoslavia dan Uni Soviet pada akhir abad ke-20. Menurut Clifford Geertz apabila bangsa Indonesia tidak mampu mengelola keanekaragaman etnik, budaya, dan solidaritas etniknya maka Indonesia akan berpotensi pecah menjadi negara-negara kecil. Misalnya, potensi disintegrasi akibat gerakan Organisasi Papua Merdeka yang menginginkan kemerdekaan Provinsi Papua dari Indonesia. Pola kemajemukan masyarakat Indonesia dapat dibedakan menjadi dua. Pertama, diferensiasi yang disebabkan oleh perbedaan adat istiadat (custom differentiation) karena adanya perbedaan etnik, budaya, agama, dan bahasa. Kedua, diferensiasi yang disebabkan oleh perbedaan struktural (structural differentiation) yang disebabkan oleh adanya perbedaan kemampuan untuk mengakses potensi ekonomi dan politik antaretnik yang menyebabkan kesenjangan sosial antaretnik. Sebagai masyarakat majemuk, Indonesia memiliki dua kecenderungan atau dampak akibat keberagaman budaya tersebut, antara
lain sebagai berikut.
1. Berkembangnya perilaku konflik di antara berbagai kelompok etnik.
2. Pemaksaan oleh kelompok kuat sebagai kekuatan utama yang mengintegrasikan masyarakat.


Namun, kemajemukan masyarakat tidak selalu menunjukkan sisi negatif saja. Pada satu sisi kemajemukan budaya masyarakat menyimpan kekayaaan budaya dan khazanah tentang kehidupan bersama yang harmonis apabila integrasi masyarakat berjalan dengan baik. Pada sisi lain, kemajemukan selalu menyimpan dan menyebabkan terjadinya potensi konflik antaretnik yang bersifat laten (tidak disadari) maupun manifes (nyata) yang disebabkan oleh adanya sikap etnosentrisme, primordialisme, dan kesenjangan sosial. Salah satu gejala yang selalu muncul dalam masyarakat majemuk adalah terjadinya ethnopolitic conflict berbentuk gerakan separatisme yang dilakukan oleh kelompok etnik tertentu. Etnopolitic conflict dapat dilihat dari terjadinya kasus Gerakan Aceh Merdeka (GAM).

 Gerakan perlawanan ini bukan hanya timbul karena didasari oleh adanya ketidakpuasan secara politik masyarakat Aceh yang merasa hak-hak dasarnya selama ini direbut oleh pemerintah pusat. Selama ini rakyat Aceh merasa terpinggirkan untuk mendapatkan akses seluruh kekayaan alam Aceh yang melimpah ditambah adanya sikap primordialisme dan etnosentrisme masyarakat Aceh yang sangat kuat. Pola etnopolitic conflict dapat terjadi dalam dua dimensi, yaitu pertama, konflik di dalam tingkatan ideologi. Konflik ini terwujud dalam bentuk konflik antara sistem nilai yang dianut oleh pendukung suatu etnik serta menjadi ideologi dari kesatuan sosial. Kedua, konflik yang terjadi dalam tingkatan politik. Konflik ini terjadi dalam bentuk pertentangan dalam pembagian akses politik dan ekonomi yang terbatas dalam masyarakat. Perbedaan kesejarahan, geografis, pengetahuan, ekonomi, peranan politik, dan kemampuan untuk mengembangkan potensi kebudayaannya sesuai dengan kaidah yang dimiliki secara optimal sering menimbulkan dominasi etnik dalam struktur sosial maupun struktur politik, baik dalam tingkat lokal maupun nasional. Dominasi etnik tersebut pada akhirnya melahirkan kebudayaan dominan (dominant culture) dan kebudayaan tidak dominan (inferior culture) yang akan melahirkan konflik antaretnik yang berkepanjangan. Dominasi etnik dan kebudayaan dalam suatu masyarakat apabila dimanfaatkan untuk kepentingan golongan selalu melahirkan konflik yang bersifat horizontal dan vertikal.


Alternatif Penyelesaian Masalah Keberagaman Budaya di Indonesia

Berbagai persoalan yang timbul akibat keberagaman budaya bangsa Indonesia yang plural dan majemuk ini memerlukan sebuah model penyelesaian yang dapat diterima oleh semua pihak sehingga konflik sosial yang selama ini berkembang dapat diminimalkan. Sebuah masyarakat yang memiliki karakteristik heterogen pola hubungan social antarindividunya di dalam masyarakat, harus mampu mengembangkan sifat toleransi dan menerima kenyataan untuk hidup berdampingan secara damai satu sama lain dengan menerima setiap perbedaan-perbedaan yang melekat pada keberagaman budaya bangsa. Oleh karena itu, diperlukan sebuah konsep yang mampu mewujudkan situasi dan kondisi sosial yang penuh kerukunan dan perdamaian meskipun terdapat kompleksitas perbedaan.

Kebesaran kebudayaan suatu bangsa terletak pada kemampuannya untuk menampung berbagai perbedaan dan keanekaragaman kebudayaan dalam sebuah kesatuan yang dilandasi suatu ikatan kebersamaan. Salah satu pengembangan konsep toleransi terhadap keberagaman budaya adalah mewujudkan masyarakat Indonesia yang multicultural dengan bentuk pengakuan dan toleransi, terhadap perbedaan dalam kesetaraan individual maupun secara kebudayaan. Dalam masyarakat multikultural, masyarakat antarsuku bangsa dapat hidup berdampingan, bertoleransi, dan saling menghargai. Nilai budaya tersebut bukan hanya merupakan sebuah wacana, tetapi harus dijadikan pedoman hidup dan Ciri khas masyarakat majemuk seperti keanekaragaman suku bangsa telah menghasilkan adanya potensi konflik antarsuku bangsa dan antara pemerintah dengan suatu masyarakat suku bangsa.

Potensi-potensi konflik tersebut merupakan permasalahan yang ada seiring dengan sifat suku bangsa yang majemuk. Selain itu, pembangunan yang berjalan selama ini menimbulkan dampak berupa terjadinya ketimpangan regional (antara Pulau Jawa dengan luar Jawa), sektoral (antara sektor industri dengan sektor pertanian), antarras (antara pribumi dan nonpribumi), dan antarlapisan (antara golongan kaya dengan golongan miskin). nilai-nilai etika dan moral dalam perilaku masyarakat Indonesia. Dalam prinsip multikulturalisme ini penegakan prinsip-prinsip demokrasi menjadi tujuan utama nilai-nilai sosial. Dalam melaksanakan prinsip demokrasi terdapat beberapa persyaratan yang harus dipenuhi. Pertama, sistem negara menganut prinsip demokrasi partisipatif. Dalam sistem demokrasi partisipatif, hukum adalah supremasi tertinggi dengan tidak memihak pada kelompok tertentu. Semua kelompok masyarakat, baik mayoritas atau minoritas, kaya atau miskin dikendalikan melalui prinsip-prinsip hukum yang objektif. Kedua, adanya distribusi pendapatan dan sarana ekonomi yang relatif merata. Artinya, tidak terjadi ketimpangan social ekonomi antarlapisan, golongan, dan daerah. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa faktor ekonomi dan politik sangat penting dalam mengelola masyarakat majemuk tersebut. Selain itu, alternatif penyelesaian keberagaman budaya yang ada di Indonesia dilakukan melalui interaksi lintas budaya dengan mengembangkan media sosial, seperti pengembangan lambang-lambang komunikasi lisan maupun tertulis, norma-norma yang disepakati dan diterima sebagai pedoman bersama, dan perangkat nilai sebagai kerangka acuan bersama. Sebenarnya interaksi lintas budaya bagi masyarakat Indonesia yang tersebar di
Kepulauan Nusantara bukan merupakan hal yang baru. Jauh sebelum kedatangan orang Eropa, mobilitas penduduk di Kepulauan Nusantara tersebut cukup tinggi yang tercermin dalam toponomi perkampungan suku bangsa atau golongan sosial perkotaan di Indonesia. Gejala tersebut bukan hanya membuktikan betapa tingginya Berdasarkan pola-pola pemukiman yang tercermin dalam toponomi perkampungan suku bangsa terdapat pola pembagian kerja yang cukup rapi antara anggota suku bangsa dan golongan sosial yang membentuk corporate group perkotaan Indonesia di masa lampau. Pembagian kerja atau spesialisasi yang menjadi sumber mata pencaharian yang ditekuni oleh masing-masing kelompok suku bangsa atau golongan sosial tersebut telah mendorong mereka untuk mendirikan perkampungan yang memberikan kesan eksklusif. Walaupun perkampungan eksklusif kesukuan ataupun golongan tersebut kini telah berkurang (survival), namun dalam perkembangan di perkotaan nampak adanya kecenderungan para pendatang baru untuk hidup berkelompok dalam suatu perkampungan. Hal ini didorong oleh adanya kesamaan profesi. Misalnya, di kota Surakarta terdapat perkampungan batik Laweyan, perkampungan Islam Kauman atau perkampungan pecinan. mobilitas penduduk di masa lampau, melainkan juga mencerminkan adanya pola-pola interaksi sosial lintas budaya.


Sikap Toleransi dan Empati Sosial terhadap Keberagaman
Budaya di Indonesia

Sejak awal kemerdekaan bangsa Indonesia, para pendiri negara telah menyadari akan arti pentingnya pengembangan kerangka nilai atau etos budaya yang dapat mempersatukan masyarakat Indonesia yang bersifat majemuk. Kesadaran tersebut dituangkan dalam UUD 1945, Pasal 32 yang berbunyi,”pemerintah memajukan kebudayaan nasional Indonesia”. Hal tersebut diperkuat dalam penjelasan UUD 1945, ”Kebudayaan bangsa ialah kebudayaan yang timbul sebagai buah usaha budinya rakyat Indonesia seluruhnya. Kebudayaan-kebudayaan lama dan asli yang terdapat sebagai puncak-puncak di daerah di seluruh Indonesia, terhitung sebagai kebudayaan bangsa. Usaha kebudayaan harus menuju ke arah kemajuan adab, budaya, dan persatuan dengan tidak menolak bahan-bahan baru dari kebudayaan asing yang dapat memperkembangkan atau memperkaya kebudayaan bangsa sendiri serta mempertinggi derajat kemanusiaan bangsa Indonesia.” Kenyataan bahwa masyarakat Indonesia merupakan masyarakat yang terdiri atas kelompok-kelompok suku, agama, daerah, dan ras yang beraneka ragam. Hal ini merupakan ciri khas masyarakat Indonesia sehingga Indonesia disebut sebagai masyarakat majemuk. Pada beberapa kelompok adat yang ketat, membedakan antarwarga dengan bukan warga. Kehadiran orang asing dilalui dengan mengadakan upacara adopsi untuk mempermudah
perlakuan, kecuali kalau yang bersangkutan akan tetap diperlakukan sebagai orang luar atau musuh. Hal tersebut tercermin dalam upacara penyambutan pejabat di daerah Tapanuli di masa lampau. Para tamu tersebut biasanya disambut dengan upacara adat yang memperjelas kedudukannya dalam struktur sosial masyarakat Batak yang terikat dalam hubungan perkawinan tiga marga (dalihan na tolu).

Pada adat perang suku Dani di pegunungan Jayawijaya, di luar kelompok kerabat patrilineal, hubungan kekerabatan berasal dari kelompok sosial yang sangat kuat sehingga untuk mempermudah perlakuan terhadap orang asing maka upacara kelahiran kembali biasanya dilakukan terhadap tamu asing yang dihormati. Selain itu, di masa lampau, untuk mensahkan kewenangan Gubernur Jenderal van Imhoff sebagai wakil ratu, Belanda mengundang raja Jawa sebagai penguasa tertinggi di Mataram. Beliau diberi gelar sebagai Kanjeng Eyang Paduka Tuan Gubernur Jenderal untuk menunjukkan senioritas dalam struktur sosial.


Pengembangan Sikap Toleransi dan Empati Sosial terhadap
Keberagaman Budaya di Indonesia

Untuk memelihara kesetiakawanan sosial maka suatu kelompok suku bangsa biasanya mengembangkan simbol-simbol yang mudah dikenal, seperti bahasa, adat istiadat, dan agama. Setiap suku bangsa tersebut merasa bahwa mereka memiliki simbol-simbol tertentu. Simbol ini diyakini perbedaannya dengan simbol-simbol suku bangsa lainnya dan berfungsi sebagai media untuk memperkuat kesetiakawanan social mereka.

Di Indonesia terdapat suku bangsa dan golongan sosial yang terlibat dalam interaksi lintas budaya secara serasi sehingga melahirkan sukusuku bangsa baru. Ini merupakan hasil amalgamasi atau asimilasi budaya. Salah satu bentuk amalgamasi budaya yang melahirkan suku bangsa baru adalah yang terjadi di Batavia. Penduduk Batavia yang berdatangan dari berbagai tempat dengan memiliki keanekaragaman latar belakang kebudayaan tersebut berhasil dipersatukan dalam kebudayaan Betawi yang dipimpin oleh Muhammad Husni Thamrin pada tahun 1923. Selanjutnya, setiap kelompok suku bangsa maupun golongan yang ada
menanggalkan simbol-simbol kesukuan mereka dan mengembangkan simbol-simbol kesukuan baru serta memilih agama Islam sebagai media sosial yang memperkuat kesetiakawanan sosial.

1. Proses Integrasi Budaya
Pada masa pendudukan Jepang juga terjadi proses integrasi budaya di Indonesia. Jepang yang berusaha meraih simpati dari rakyat Indonesia, dengan mensahkan penggunaan bahasa Indonesia
sebagai bahasa resmi maupun dalam pergaulan sosial sehari-hari. Pengaruh kebijakan tersebut sangat besar dalam pengembangan budaya kesetaraan pada masyarakat Indonesia. Keputusan Jepang untuk memberlakukan bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi tersebut bukan hanya mengukuhkan media sosial yang diperlukan melainkan juga mematahkan salah satu lambang arogansi sosial, yaitu pemakaian bahasa Belanda pada masa penjajahan Belanda. Jasa lain penjajah Jepang yang tidak boleh diabaikan adalah pembentukan organisasi rukun tetangga (RT) sebagai organisasi sosial di tingkat lokal. Tujuannya untuk mempersatukan segenap warga masyarakat tanpa memandang asal usul kesukuan, golongan, dan latar belakang kebudayaan. Konsep ketetanggaan tersebut akan memainkan peranan penting dalam menciptakan wadah sosial yang dapat menjamin kebutuhan akan rasa aman warga, bebas dari kecurigaan, dan prasangka etnik, ras, dan golongan.

2. Sikap Toleransi dan Empati terhadap Keberagaman Budaya
Agar menghindarkan kecenderungan dominasi suatu suku bangsa terhadap suku bangsa lainnya maka harus ditingkatkan rasa toleransi dan empati terhadap keberagaman Indonesia. Misalnya, proyek pencetakan sejuta hektar sawah lahan gambut yang telah dibatalkan. Apabila proyek ini dilaksanakan dapat menjurus ke arah dominasi kebudayaan petani sawah dari Jawa yang dipaksakan kepada suku Dayak dan kebudayaannya yang dianggap kurang sesuai dengan arus pembangunan.


3. Penerapan Pendekatan Multikultural
Pengembangan model pendidikan yang menggunakan pendekatan multicultural sangat diperlukan untuk menanamkan nilainilai pluralitas bangsa. Sikap simpati, toleransi, dan empati akan tertanam kuat melalui pendidikan multikultural. Masyarakat menyadari akan adanya perbedaan budaya dan memupuk penghayatan nilainilai kebersamaan sebagai dasar dan pandangan hidup bersama. Melalui pendidikan multikultural, sejak dini anak didik ditanamkan untuk menghargai berbagai perbedaan budaya, seperti etnik, ras, dan suku dalam masyarakat. Keserasian sosial dan kerukunan pada dasarnya adalah sebuah mozaik yang tersusun dari keberagaman budaya dalam masyarakat. Melalui pendidikan multikultural, seorang anak dididik untuk bersikap toleransi dan empati terhadap berbagai perbedaan di dalam masyarakat. Kesadaran akan kemajemukan budaya dan kesediaan untuk bertoleransi dan berempati terhadap perbedaan budaya merupakan kunci untuk membangun kehidupan berbangsa dan bernegara. Penerapan sikap toleransi dan empati sosial yang dilakukan oleh individu dalam masyarakat akan mencegah terjadinya berbagai konflik sosial yang merugikan berbagai pihak.

Apa Konsensus Selalu Baik?

Ralf Dahrendorf, seorang sosiolog kenamaan asal Jerman, dalam karyanya Class and Class Conflict in Industrial Society (1959), menyatakan bahwa kehidupan sosial senantiasa diwarnai oleh dua hal, konflik dan konsensus. Konflik dapat berarti pertikaian yang lahir dari kesalapahaman antara pihak-pihak yang terlibat di dalamnya dan konsensus dapat berarti upaya damai yang dilakukan guna menyelesaikan konflik, namun tak pelak konsensus yang dibuat akan menimbulkan konflik baru apabila perencanaan konsensus itu tidak dilakukan dengan matang. Singkatnya, Dahrendorf agaknya percaya pada dialektika ideologis Georg Wilhelm Friedrich Hegel bahwa konflik dan konsensus niscaya berputar secara sirkular layaknya tesis, antitesis dan sintesis, tak berujung. Mengkritisi pemikiran Dahrendorf, kita diantar pada sebuah pemahaman yang ortodoksal tentang dinamika kemasyarakatan di Indonesia. Apa itu? Masyarakat yang umumnya hidup di atas arus kebudayaan, kebudayaan yang kita pahami sebagai cara bertindak dan bertingkah laku. Kebudayaan Indonesia dapat dijelaskan menggunakan pendekatan Dahrendorf tadi, bahwa sebagian besar masyarakat Indonesia menjunjung tinggi upaya penyelesaian konflik yang berbasis damai. Masyarakat Indonesia memang hidup dalam alam pikirannya masing-masing, bergantung pada kenampakan geografis dan historis, namun tetap memiliki pola hidup yang berfondasikan konsensus. Musyawarah merupakan salah satu produknya. Kita hidup dalam sebuah bingkai kultural yang solid, diperkuat oleh bangunan Bhinneka Tunggal Ika dan Pancasila. Kita adalah bangsa yang satu.
            
Secara garis besar, masyarakat kita disiapkan menghadapi semua kenyataan yang diasumsikan sama, kalaupun pada kenyataannya berbeda, ia harus diubah menjadi sama dengan apa yang diasumsikan itu. proses sejarah yang panjang menjadika budaya konsensus ini terinstitusionalisasi dan terinternalisasi dalam pola pikir masyarakat dan menjadi budaya bersama (common minds). Akan tetapi, Indonesia sebagai sebuah identitas tidak dapat menutup diri terhadap kemajemukan. Mau ditaruh di mana diversitas itu apabila mata kita dibutakan oleh sebuah konsensus terus menerus? Orde baru, yang menjadi patron politik selama 32 tahun jelas menanamkan budaya konsensus tanpa konflik. Setiap gerakan kritis diberangus, setiap gerakan pengacau keamanan pun bernasib sama. Apabila ditelisik, Indonesia di era orde baru adalah Indonesia yang dilanda zaman kegelapan (Dark Age). Hal inipin terus berlanjut hingga saat ini ketika kemajemukan tidak lagi dipandang sebagai kekayaan dan keunggulan. Permasalahan bangsa saat ini diakibatkan absennya kesadaran manusianya terhadap karakteristik kebudayaan yang majemuk dan terjadi di depan mata kita ketika kemajemukan ini akan dicabut dari identitas bangsa. Kemajemukan memang selalu melahirkan potensi konflik, namun hal ini sehat adanya apabila setiap komponen mau terjun dan larut dalam refleksi mendalam tentang hakikat kemajemukan dalam konteks ke-Eka-an.
            
Sebuah paradoks terjadi, senada dengan wajah keindonesiaan kita yang tengah aktual. Bhinneka Tunggal Ika, berarti berbeda-beda tetapi tetap satu jua. Prinsip dasar terma yang pertama kali tercatat dalam kitab Sutasoma gubahan Mpu Tantular ini adalah kemajemukan sebagai rantai simpul persatuan. Terma ini tentu saja mengamini bahwa Nusantara di masa lampau dan hingga saat ini adalah bangsa yang majemuk. Kita tidak dapat 100% menyamakan kebutuhan masyarakat Aceh dan Papua, masyarakat Miangas dan Rote karena mereka memiliki alam pikirannya masing-masing. Apabila terdapat kebutuhan yang sama, hal ini menjadi lebih mudah untuk dipenuhi, namun perbedaan tentu sangat mungkin terjadi dalam sebuah kemajemukan. Akan tetapi, kita tetap disatukan oleh sebuah identitas yaitu Indonesia, bangsa Indonesia dan bahasa Indonesia. Paradoksal memang.
            
Dalam membangun Indonesia yang lebih baik, para pemangku kepentingan dan segenap komponen bangsa harus insaf mengakui kemajemukan sebagai pemerkaya. Sebuah fase konflik niscaya terjadi dalam masyarakat tetapi hal itu akan dapat diatasi oleh masyarakat itu sendiri dengan sebuah konsensus yang mereka yakini. Pada dasarnya, masyarakat Indonesia akan dengan sukarela terjun dalam konsensus apabila konflik telah terjadi. Bagaimana mungkin kita menkonsensuskan sesuatu yang tidak bermula dari konflik.  Keanekaragaman suku,agama, ras dan bahasa daerah menyimpan posibilitas konflik yang tidak kecil, namun patut diingat bahwa semua itu tidak akan menjadi masalah besar apabila segenap pihak mau terjun dalam konsensus yang benar-benar komprehensif.
            
Randall Collins, seorang sosiolog konflik menyatakan bahwa konflik dan konsensus adalah dua hal yang tidak baik dan tidak buruk. Hal ini terjadi karena karakter dasar manusia yang sosialistik (sociable). Collins memandang pentingnya konflik untuk mempurifikasi masyarakat. Jadi, menurutnya, konflik adalah sesuatu yang harus terjadi. Pendapat Collins sepatutnya dimaknai sebagai masukan berharga bagi para pemangku kepentingan agar arif menyikapi kemajemukan dan tidak melulu mengambil jalan konsensus bagi setiap  asumsi pengambilan kebijakan.
            
Konsensus akan jauh lebih bermanfaat setelah ada konflik, itu artinya, kita mesti mafhum bahwa setiap wajah kebudayaan akan mengantar kita pada pemahaman yang lebih utuh tentang hakikat kebangsaan kita. Memandang konsensus sebagai upaya menenteramkan masyarakat adalah hal yang perlu namun patut dicatat bahwa secara realistis, potensi salah tentu ada sehingga setiap upaya kritis masyarakat mesti disikapi secara kultural, bukan secara politis-ekonomis.

            
Bangunan kebangsaan didirikan di atas fondasi kemajemukan dan ke-Eka-an. Menjadi tanggung jawab kita merawatnya dan menyuburkan bunga-bunga di halamannya sehingga memperindah keseluruhan identitasnya. Merawat kemajemukan berarti merawat kelangsungan hidup semua komponen bangsa.


Sumber:

http://andrifardiansyah1.blogspot.co.id/2013/05/penyelesaian-masalah-akibat-keberagaman.html
http://lesehan-buku.blogspot.co.id/2015/04/mengapa-konsensus-tak-selalu-baik.html