Indonesia Masyarakat Majemuk
Dalam
pembahasan sebelumnya telah dipaparkan mengenai potensi keberagaman
budaya di Indonesia. Indonesia adalah sebuah masyarakat majemuk
(plural society), yaitu sebuah masyarakat yang terdiri atas
masyarakat-masyarakat suku bangsa yang dipersatukan oleh sistem nasional sebagai
sebuah masyarakat negara dan sebagai bangsa atau nasional. Yang menjadi sebuah pertanyaan besar
adalah dampak dari keberagaman budaya bagi integrasi bangsa. Di dalam potensi
keberagaman budaya tersebut sebenarnya terkandung
potensi disintegrasi, konflik, dan separatisme sebagai dampak
dari negara kesatuan yang bersifat multietnik dan struktur masyarakat
Indonesia yang majemuk dan plural. Menurut David Lockwood
konsensus dan konflik merupakan dua sisi mata uang karena
konsensus dan konflik adalah dua gejala yang melekat secara bersama-sama
di dalam masyarakat. Sejak merdeka pada tanggal 17 Agustus
1945, Indonesia selalu diwarnai oleh gerakan
separatisme, seperti gerakan separatis DI/TII dan
RMS di Maluku. Gerakan
tersebut saat ini juga berlangsung
di Provinsi
Papua yang dilakukan oleh OPM
(Organisasi
Papua Merdeka) di provinsi paling
timur di
Indonesia tersebut. Karena
struktur sosial budayanya yang
sangat kompleks, Indonesia selalu
berpotensi
menghadapi permasalahan konflik
antaretnik,
kesenjangan sosial, dan sulitnya
terjadi
integrasi nasional secara permanen.
Hal tersebut disebabkan adanya perbedaan budaya
yang mengakibatkan perbedaan
dalam cara pandang terhadap
kehidupan
politik, sosial, dan ekonomi
masyarakat.
Menurut Samuel Huntington, Indonesia adalah
negara yang mempunyai potensi disintegrasi paling besar setelah Yugoslavia
dan Uni Soviet pada akhir abad ke-20. Menurut Clifford Geertz
apabila bangsa Indonesia tidak mampu mengelola keanekaragaman etnik,
budaya, dan solidaritas etniknya maka Indonesia akan berpotensi
pecah menjadi negara-negara kecil. Misalnya, potensi disintegrasi
akibat gerakan Organisasi Papua Merdeka yang menginginkan
kemerdekaan Provinsi Papua dari Indonesia. Pola
kemajemukan masyarakat Indonesia dapat dibedakan menjadi dua.
Pertama, diferensiasi yang disebabkan oleh perbedaan adat istiadat (custom
differentiation) karena adanya perbedaan etnik, budaya, agama, dan
bahasa. Kedua, diferensiasi yang disebabkan oleh perbedaan struktural
(structural differentiation) yang disebabkan oleh adanya perbedaan
kemampuan untuk mengakses potensi ekonomi dan politik antaretnik
yang menyebabkan kesenjangan sosial antaretnik. Sebagai
masyarakat majemuk, Indonesia memiliki dua kecenderungan atau
dampak akibat keberagaman budaya tersebut, antara
lain
sebagai berikut.
1.
Berkembangnya perilaku konflik di antara berbagai kelompok etnik.
2.
Pemaksaan oleh kelompok kuat sebagai kekuatan utama yang mengintegrasikan
masyarakat.
Namun, kemajemukan masyarakat tidak selalu
menunjukkan sisi negatif saja. Pada satu sisi
kemajemukan budaya masyarakat
menyimpan kekayaaan budaya dan
khazanah
tentang kehidupan bersama yang
harmonis
apabila integrasi masyarakat
berjalan dengan
baik. Pada sisi lain, kemajemukan
selalu
menyimpan dan menyebabkan terjadinya potensi
konflik antaretnik yang bersifat laten (tidak
disadari) maupun manifes (nyata)
yang disebabkan oleh adanya sikap etnosentrisme, primordialisme,
dan kesenjangan sosial.
Salah satu gejala yang selalu muncul dalam
masyarakat majemuk adalah terjadinya ethnopolitic
conflict berbentuk gerakan
separatisme yang dilakukan oleh
kelompok etnik tertentu. Etnopolitic conflict dapat
dilihat dari terjadinya kasus Gerakan Aceh
Merdeka (GAM).
Gerakan perlawanan ini
bukan hanya timbul karena didasari oleh adanya
ketidakpuasan secara politik masyarakat Aceh yang
merasa hak-hak dasarnya
selama ini direbut oleh pemerintah
pusat.
Selama ini rakyat Aceh merasa
terpinggirkan
untuk mendapatkan akses seluruh
kekayaan
alam Aceh yang melimpah ditambah
adanya
sikap primordialisme dan
etnosentrisme
masyarakat Aceh yang sangat kuat. Pola etnopolitic
conflict dapat terjadi dalam dua dimensi, yaitu pertama,
konflik di dalam tingkatan ideologi. Konflik ini terwujud dalam bentuk
konflik antara sistem nilai yang dianut oleh pendukung suatu etnik
serta menjadi ideologi dari kesatuan sosial. Kedua, konflik yang terjadi
dalam tingkatan politik. Konflik ini terjadi dalam bentuk pertentangan
dalam pembagian akses politik dan ekonomi yang terbatas dalam
masyarakat.
Perbedaan kesejarahan, geografis,
pengetahuan, ekonomi, peranan
politik, dan kemampuan untuk
mengembangkan potensi kebudayaannya sesuai
dengan kaidah yang dimiliki secara optimal sering menimbulkan dominasi
etnik dalam struktur sosial maupun struktur politik, baik dalam tingkat
lokal maupun nasional. Dominasi etnik tersebut pada akhirnya melahirkan
kebudayaan dominan (dominant culture) dan kebudayaan tidak
dominan (inferior culture) yang akan melahirkan konflik antaretnik yang
berkepanjangan. Dominasi etnik dan kebudayaan dalam suatu masyarakat
apabila dimanfaatkan untuk kepentingan golongan selalu melahirkan
konflik yang bersifat horizontal dan vertikal.
Alternatif
Penyelesaian Masalah Keberagaman Budaya di Indonesia
Berbagai
persoalan yang timbul akibat keberagaman budaya bangsa Indonesia
yang plural dan majemuk ini memerlukan sebuah model penyelesaian
yang dapat diterima oleh semua pihak sehingga konflik sosial
yang selama ini berkembang dapat diminimalkan. Sebuah masyarakat
yang memiliki karakteristik heterogen pola hubungan social antarindividunya
di dalam masyarakat, harus mampu mengembangkan sifat
toleransi dan menerima kenyataan untuk hidup berdampingan secara damai
satu sama lain dengan menerima setiap perbedaan-perbedaan yang melekat
pada keberagaman budaya bangsa. Oleh karena itu, diperlukan sebuah
konsep yang mampu mewujudkan situasi dan kondisi sosial yang penuh
kerukunan dan perdamaian meskipun terdapat kompleksitas perbedaan.
Kebesaran
kebudayaan suatu bangsa terletak pada kemampuannya untuk
menampung berbagai perbedaan dan keanekaragaman kebudayaan
dalam sebuah kesatuan yang dilandasi suatu ikatan kebersamaan. Salah
satu pengembangan konsep toleransi terhadap keberagaman budaya
adalah mewujudkan masyarakat Indonesia yang multicultural dengan
bentuk pengakuan dan toleransi, terhadap perbedaan dalam kesetaraan
individual maupun secara kebudayaan. Dalam masyarakat multikultural,
masyarakat antarsuku bangsa dapat hidup berdampingan, bertoleransi,
dan saling menghargai. Nilai budaya tersebut bukan hanya merupakan
sebuah wacana, tetapi harus dijadikan pedoman hidup dan Ciri
khas masyarakat majemuk seperti keanekaragaman suku bangsa telah
menghasilkan adanya potensi konflik antarsuku bangsa dan antara pemerintah
dengan suatu masyarakat suku bangsa.
Potensi-potensi konflik
tersebut merupakan permasalahan yang ada seiring dengan sifat suku
bangsa yang majemuk. Selain itu, pembangunan yang berjalan selama
ini menimbulkan dampak berupa terjadinya ketimpangan regional (antara
Pulau Jawa dengan luar Jawa), sektoral (antara sektor industri dengan sektor
pertanian), antarras (antara pribumi dan nonpribumi), dan antarlapisan
(antara golongan kaya dengan golongan miskin). nilai-nilai
etika dan moral dalam perilaku
masyarakat Indonesia. Dalam prinsip
multikulturalisme
ini penegakan prinsip-prinsip demokrasi
menjadi tujuan utama nilai-nilai sosial. Dalam
melaksanakan prinsip demokrasi terdapat beberapa persyaratan
yang harus dipenuhi. Pertama, sistem negara menganut prinsip
demokrasi partisipatif. Dalam sistem demokrasi partisipatif, hukum
adalah supremasi tertinggi dengan tidak memihak pada kelompok
tertentu. Semua kelompok masyarakat, baik mayoritas atau minoritas,
kaya atau miskin dikendalikan melalui prinsip-prinsip hukum
yang objektif. Kedua, adanya distribusi pendapatan dan sarana ekonomi
yang relatif merata. Artinya, tidak terjadi ketimpangan social ekonomi
antarlapisan, golongan, dan daerah. Oleh karena itu, dapat disimpulkan
bahwa faktor ekonomi dan politik sangat penting dalam mengelola
masyarakat majemuk tersebut.
Selain itu, alternatif penyelesaian
keberagaman budaya yang ada di
Indonesia dilakukan melalui
interaksi lintas budaya dengan
mengembangkan media sosial, seperti
pengembangan lambang-lambang
komunikasi lisan maupun tertulis,
norma-norma yang disepakati dan
diterima sebagai pedoman bersama,
dan perangkat nilai sebagai kerangka acuan
bersama. Sebenarnya interaksi lintas budaya bagi masyarakat Indonesia yang
tersebar di
Kepulauan
Nusantara bukan merupakan hal
yang baru. Jauh sebelum kedatangan
orang Eropa, mobilitas penduduk
di Kepulauan Nusantara tersebut
cukup tinggi yang tercermin dalam toponomi
perkampungan suku bangsa atau golongan sosial perkotaan di
Indonesia. Gejala tersebut bukan hanya membuktikan betapa tingginya Berdasarkan
pola-pola pemukiman yang tercermin dalam toponomi perkampungan
suku bangsa terdapat pola pembagian kerja yang cukup rapi
antara anggota suku bangsa dan golongan sosial yang membentuk corporate
group perkotaan Indonesia di masa lampau.
Pembagian kerja
atau spesialisasi yang menjadi
sumber mata pencaharian yang ditekuni oleh masing-masing kelompok suku bangsa
atau golongan sosial tersebut
telah mendorong mereka untuk
mendirikan perkampungan yang
memberikan kesan eksklusif. Walaupun
perkampungan eksklusif
kesukuan ataupun golongan tersebut
kini telah berkurang (survival), namun
dalam perkembangan di perkotaan nampak adanya kecenderungan para
pendatang baru untuk hidup berkelompok dalam suatu perkampungan.
Hal ini didorong oleh adanya kesamaan profesi. Misalnya,
di kota Surakarta terdapat perkampungan batik Laweyan, perkampungan
Islam Kauman atau perkampungan pecinan. mobilitas
penduduk di masa lampau, melainkan juga mencerminkan adanya pola-pola
interaksi sosial lintas budaya.
Sikap
Toleransi dan Empati Sosial terhadap Keberagaman
Budaya
di Indonesia
Sejak awal
kemerdekaan bangsa Indonesia, para pendiri negara telah menyadari
akan arti pentingnya pengembangan kerangka nilai atau etos budaya
yang dapat mempersatukan masyarakat Indonesia yang bersifat majemuk.
Kesadaran tersebut dituangkan dalam UUD 1945, Pasal 32 yang
berbunyi,”pemerintah memajukan kebudayaan nasional Indonesia”. Hal
tersebut diperkuat dalam penjelasan UUD 1945, ”Kebudayaan bangsa
ialah kebudayaan yang timbul sebagai buah usaha budinya rakyat
Indonesia seluruhnya. Kebudayaan-kebudayaan lama dan asli yang
terdapat sebagai puncak-puncak di daerah di seluruh Indonesia, terhitung
sebagai kebudayaan bangsa. Usaha kebudayaan harus menuju
ke arah kemajuan adab, budaya, dan persatuan dengan tidak menolak
bahan-bahan baru dari kebudayaan asing yang dapat memperkembangkan
atau memperkaya kebudayaan bangsa sendiri serta
mempertinggi derajat kemanusiaan bangsa Indonesia.” Kenyataan
bahwa masyarakat Indonesia
merupakan masyarakat yang terdiri
atas kelompok-kelompok suku, agama,
daerah,
dan ras yang beraneka ragam. Hal ini
merupakan
ciri khas masyarakat Indonesia
sehingga
Indonesia disebut sebagai masyarakat
majemuk.
Pada beberapa kelompok adat yang
ketat,
membedakan antarwarga dengan bukan warga.
Kehadiran orang asing dilalui dengan mengadakan
upacara adopsi untuk mempermudah
perlakuan,
kecuali kalau yang
bersangkutan akan tetap diperlakukan
sebagai
orang luar atau musuh. Hal tersebut
tercermin
dalam upacara penyambutan pejabat di
daerah
Tapanuli di masa lampau. Para tamu
tersebut
biasanya disambut dengan upacara
adat yang
memperjelas kedudukannya dalam
struktur
sosial masyarakat Batak yang terikat
dalam hubungan perkawinan tiga marga (dalihan
na
tolu).
Pada adat
perang suku Dani di pegunungan
Jayawijaya, di luar kelompok kerabat patrilineal,
hubungan kekerabatan berasal dari kelompok
sosial yang sangat kuat sehingga untuk
mempermudah perlakuan terhadap orang asing maka
upacara kelahiran kembali biasanya dilakukan terhadap tamu
asing yang dihormati. Selain itu, di masa lampau, untuk mensahkan kewenangan
Gubernur Jenderal van Imhoff sebagai wakil ratu, Belanda mengundang
raja Jawa sebagai penguasa tertinggi di Mataram. Beliau diberi
gelar sebagai Kanjeng Eyang Paduka Tuan Gubernur Jenderal untuk menunjukkan
senioritas dalam struktur sosial.
Pengembangan
Sikap Toleransi dan Empati Sosial terhadap
Keberagaman
Budaya di Indonesia
Untuk
memelihara kesetiakawanan sosial maka suatu kelompok suku
bangsa biasanya mengembangkan simbol-simbol yang mudah dikenal,
seperti bahasa, adat istiadat, dan agama. Setiap suku bangsa tersebut
merasa bahwa mereka memiliki simbol-simbol tertentu. Simbol ini
diyakini perbedaannya dengan simbol-simbol suku bangsa lainnya dan
berfungsi sebagai media untuk memperkuat kesetiakawanan social mereka.
Di
Indonesia terdapat suku bangsa dan golongan sosial yang terlibat dalam
interaksi lintas budaya secara serasi sehingga melahirkan sukusuku bangsa
baru. Ini merupakan hasil amalgamasi atau asimilasi budaya. Salah
satu bentuk amalgamasi budaya yang melahirkan suku bangsa baru
adalah yang terjadi di Batavia. Penduduk Batavia yang berdatangan dari
berbagai tempat dengan memiliki keanekaragaman latar belakang kebudayaan
tersebut berhasil dipersatukan dalam kebudayaan Betawi yang
dipimpin oleh Muhammad Husni Thamrin pada tahun 1923. Selanjutnya,
setiap kelompok suku bangsa maupun golongan yang ada
menanggalkan
simbol-simbol kesukuan mereka dan mengembangkan simbol-simbol
kesukuan baru serta memilih agama Islam sebagai media sosial
yang memperkuat kesetiakawanan sosial.
1. Proses Integrasi Budaya
Pada masa
pendudukan Jepang juga terjadi proses integrasi budaya
di Indonesia. Jepang yang berusaha meraih simpati dari rakyat
Indonesia, dengan mensahkan penggunaan bahasa Indonesia
sebagai
bahasa resmi maupun dalam pergaulan sosial sehari-hari. Pengaruh
kebijakan tersebut sangat besar dalam pengembangan budaya
kesetaraan pada masyarakat Indonesia. Keputusan Jepang untuk
memberlakukan bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi tersebut
bukan hanya mengukuhkan media sosial yang diperlukan melainkan
juga mematahkan salah satu lambang arogansi sosial, yaitu
pemakaian bahasa Belanda pada masa penjajahan Belanda. Jasa
lain penjajah Jepang yang tidak boleh diabaikan adalah pembentukan
organisasi rukun tetangga (RT) sebagai organisasi sosial
di tingkat lokal. Tujuannya untuk mempersatukan segenap warga
masyarakat tanpa memandang asal usul kesukuan, golongan, dan
latar belakang kebudayaan. Konsep ketetanggaan tersebut akan memainkan
peranan penting dalam menciptakan wadah sosial yang dapat
menjamin kebutuhan akan rasa aman warga, bebas dari kecurigaan,
dan prasangka etnik, ras, dan golongan.
2. Sikap Toleransi dan Empati
terhadap Keberagaman Budaya
Agar
menghindarkan kecenderungan dominasi suatu suku bangsa
terhadap suku bangsa lainnya maka harus ditingkatkan rasa toleransi
dan empati terhadap keberagaman Indonesia. Misalnya, proyek
pencetakan sejuta hektar sawah lahan gambut yang telah dibatalkan.
Apabila proyek ini dilaksanakan dapat menjurus ke arah dominasi
kebudayaan petani sawah dari Jawa yang dipaksakan kepada
suku Dayak dan kebudayaannya yang dianggap kurang sesuai
dengan arus pembangunan.
3. Penerapan Pendekatan
Multikultural
Pengembangan
model pendidikan yang
menggunakan pendekatan multicultural sangat
diperlukan untuk menanamkan nilainilai pluralitas
bangsa. Sikap simpati,
toleransi, dan empati akan tertanam
kuat melalui pendidikan multikultural.
Masyarakat
menyadari akan adanya perbedaan budaya
dan memupuk penghayatan nilainilai kebersamaan
sebagai dasar dan pandangan
hidup bersama. Melalui
pendidikan multikultural, sejak
dini anak didik ditanamkan untuk menghargai berbagai
perbedaan budaya, seperti etnik, ras, dan
suku dalam masyarakat. Keserasian sosial dan
kerukunan pada dasarnya adalah
sebuah mozaik yang tersusun dari
keberagaman
budaya dalam masyarakat. Melalui pendidikan
multikultural, seorang anak
dididik untuk bersikap toleransi dan
empati
terhadap berbagai perbedaan di dalam
masyarakat. Kesadaran akan
kemajemukan budaya dan kesediaan
untuk bertoleransi dan
berempati terhadap perbedaan budaya
merupakan kunci untuk
membangun kehidupan berbangsa dan
bernegara. Penerapan sikap
toleransi dan empati sosial yang
dilakukan oleh individu dalam
masyarakat akan mencegah terjadinya
berbagai konflik sosial yang
merugikan berbagai pihak.
Apa Konsensus Selalu Baik?
Ralf Dahrendorf, seorang sosiolog
kenamaan asal Jerman, dalam karyanya Class and Class Conflict in
Industrial Society (1959), menyatakan bahwa kehidupan sosial senantiasa
diwarnai oleh dua hal, konflik dan konsensus. Konflik dapat berarti pertikaian
yang lahir dari kesalapahaman antara pihak-pihak yang terlibat di dalamnya dan
konsensus dapat berarti upaya damai yang dilakukan guna menyelesaikan konflik,
namun tak pelak konsensus yang dibuat akan menimbulkan konflik baru apabila
perencanaan konsensus itu tidak dilakukan dengan matang. Singkatnya, Dahrendorf
agaknya percaya pada dialektika ideologis Georg Wilhelm Friedrich Hegel bahwa
konflik dan konsensus niscaya berputar secara sirkular layaknya tesis,
antitesis dan sintesis, tak berujung. Mengkritisi pemikiran Dahrendorf, kita
diantar pada sebuah pemahaman yang ortodoksal tentang dinamika kemasyarakatan
di Indonesia. Apa itu? Masyarakat yang umumnya hidup di atas arus kebudayaan,
kebudayaan yang kita pahami sebagai cara bertindak dan bertingkah laku.
Kebudayaan Indonesia dapat dijelaskan menggunakan pendekatan Dahrendorf tadi, bahwa
sebagian besar masyarakat Indonesia menjunjung tinggi upaya penyelesaian
konflik yang berbasis damai. Masyarakat Indonesia memang hidup dalam alam
pikirannya masing-masing, bergantung pada kenampakan geografis dan historis,
namun tetap memiliki pola hidup yang berfondasikan konsensus. Musyawarah
merupakan salah satu produknya. Kita hidup dalam sebuah bingkai kultural yang
solid, diperkuat oleh bangunan Bhinneka Tunggal Ika dan Pancasila. Kita adalah
bangsa yang satu.
Secara garis besar, masyarakat kita disiapkan menghadapi semua kenyataan yang diasumsikan sama, kalaupun pada kenyataannya berbeda, ia harus diubah menjadi sama dengan apa yang diasumsikan itu. proses sejarah yang panjang menjadika budaya konsensus ini terinstitusionalisasi dan terinternalisasi dalam pola pikir masyarakat dan menjadi budaya bersama (common minds). Akan tetapi, Indonesia sebagai sebuah identitas tidak dapat menutup diri terhadap kemajemukan. Mau ditaruh di mana diversitas itu apabila mata kita dibutakan oleh sebuah konsensus terus menerus? Orde baru, yang menjadi patron politik selama 32 tahun jelas menanamkan budaya konsensus tanpa konflik. Setiap gerakan kritis diberangus, setiap gerakan pengacau keamanan pun bernasib sama. Apabila ditelisik, Indonesia di era orde baru adalah Indonesia yang dilanda zaman kegelapan (Dark Age). Hal inipin terus berlanjut hingga saat ini ketika kemajemukan tidak lagi dipandang sebagai kekayaan dan keunggulan. Permasalahan bangsa saat ini diakibatkan absennya kesadaran manusianya terhadap karakteristik kebudayaan yang majemuk dan terjadi di depan mata kita ketika kemajemukan ini akan dicabut dari identitas bangsa. Kemajemukan memang selalu melahirkan potensi konflik, namun hal ini sehat adanya apabila setiap komponen mau terjun dan larut dalam refleksi mendalam tentang hakikat kemajemukan dalam konteks ke-Eka-an.
Sebuah paradoks terjadi, senada dengan wajah keindonesiaan kita yang tengah aktual. Bhinneka Tunggal Ika, berarti berbeda-beda tetapi tetap satu jua. Prinsip dasar terma yang pertama kali tercatat dalam kitab Sutasoma gubahan Mpu Tantular ini adalah kemajemukan sebagai rantai simpul persatuan. Terma ini tentu saja mengamini bahwa Nusantara di masa lampau dan hingga saat ini adalah bangsa yang majemuk. Kita tidak dapat 100% menyamakan kebutuhan masyarakat Aceh dan Papua, masyarakat Miangas dan Rote karena mereka memiliki alam pikirannya masing-masing. Apabila terdapat kebutuhan yang sama, hal ini menjadi lebih mudah untuk dipenuhi, namun perbedaan tentu sangat mungkin terjadi dalam sebuah kemajemukan. Akan tetapi, kita tetap disatukan oleh sebuah identitas yaitu Indonesia, bangsa Indonesia dan bahasa Indonesia. Paradoksal memang.
Dalam membangun Indonesia yang lebih baik, para pemangku kepentingan dan segenap komponen bangsa harus insaf mengakui kemajemukan sebagai pemerkaya. Sebuah fase konflik niscaya terjadi dalam masyarakat tetapi hal itu akan dapat diatasi oleh masyarakat itu sendiri dengan sebuah konsensus yang mereka yakini. Pada dasarnya, masyarakat Indonesia akan dengan sukarela terjun dalam konsensus apabila konflik telah terjadi. Bagaimana mungkin kita menkonsensuskan sesuatu yang tidak bermula dari konflik. Keanekaragaman suku,agama, ras dan bahasa daerah menyimpan posibilitas konflik yang tidak kecil, namun patut diingat bahwa semua itu tidak akan menjadi masalah besar apabila segenap pihak mau terjun dalam konsensus yang benar-benar komprehensif.
Randall Collins, seorang sosiolog konflik menyatakan bahwa konflik dan konsensus adalah dua hal yang tidak baik dan tidak buruk. Hal ini terjadi karena karakter dasar manusia yang sosialistik (sociable). Collins memandang pentingnya konflik untuk mempurifikasi masyarakat. Jadi, menurutnya, konflik adalah sesuatu yang harus terjadi. Pendapat Collins sepatutnya dimaknai sebagai masukan berharga bagi para pemangku kepentingan agar arif menyikapi kemajemukan dan tidak melulu mengambil jalan konsensus bagi setiap asumsi pengambilan kebijakan.
Konsensus akan jauh lebih bermanfaat setelah ada konflik, itu artinya, kita mesti mafhum bahwa setiap wajah kebudayaan akan mengantar kita pada pemahaman yang lebih utuh tentang hakikat kebangsaan kita. Memandang konsensus sebagai upaya menenteramkan masyarakat adalah hal yang perlu namun patut dicatat bahwa secara realistis, potensi salah tentu ada sehingga setiap upaya kritis masyarakat mesti disikapi secara kultural, bukan secara politis-ekonomis.
Bangunan kebangsaan didirikan di atas fondasi kemajemukan dan ke-Eka-an. Menjadi tanggung jawab kita merawatnya dan menyuburkan bunga-bunga di halamannya sehingga memperindah keseluruhan identitasnya. Merawat kemajemukan berarti merawat kelangsungan hidup semua komponen bangsa.
Sumber:
http://andrifardiansyah1.blogspot.co.id/2013/05/penyelesaian-masalah-akibat-keberagaman.html
http://lesehan-buku.blogspot.co.id/2015/04/mengapa-konsensus-tak-selalu-baik.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar