Indonesia masyarakat majemuk
Indonesia adalah sebuah masyarakat
majemuk (plural society), yaitu sebuah masyarakat yang terdiri atas
masyarakat-masyarakat suku bangsa yang dipersatukan oleh sistem nasional sebagai
sebuah masyarakat negara dan sebagai bangsa atau nation . model masyarakat majemuk yang dikenal dalam ilmu-ilmu sosial ini
bermula dari Furnivall (1948) yang mengidentifikasikan masyarakat jajahan
Hindia Belanda sebagai sebuah masyarakat majemuk. Furnifall melihat masyarakat
jajahan Hindia Belanda ini sebagai sebuah masyarakat yang terdiri atas kumpulan
orang-orang atau kelompok-kelompok yang berbaur tetapi tidak menjadi satu.
Masing-masing kelompok mempunyai agama, kebudayaan, dan bahasa, serta cita-cita
dan cara-cara hidup mereka masing-masing.
Lebih lanjut
dikatakan oleh Furnifall bahwa masyarakat seperti ini terdiri
atas bagian-bagian atau segmen yang merupakan komuniti-komuniti yang hidup
saling berdampingan dalam sebuah satuan politik, tetapi yang terpisah atau
tidak merupakan sebuah kesatuan. Mereka ini merupakan sebuah masyarakat karena
di persatuan secara paksa oleh pemerintahan nasional, yaitu pemerintah jajahan
Hindia Belanda. Kekuasaan absolut berada ditangan sejumlah kecil golongan
elite, yang merupakan penguasa jajahan yang dominan, yang menuntut penyerahan
absolut dari masyarakat jajahan demi kepentingan penguasa jajahan tersebut.
Kepentingan penguasa jajahan tersebut adalah penguasaan atas sumber-sumber daya
ekonomi dan alam serta pendistribusiannya.
Masyarakat majemuk
pada umumnya mempunyai ciri yang menyolok dalam hal corak pemerintahannya,
yaitu bercorak otoriter dan militeristik sebagaimana yang menjadi corak dari
semua pemerintahan dimasyarakat jajahan. Coraknya yang otoriter dan
militeristik ini juga terdapat dalam masyarakat-masyarakat majemuk yang bukan
negara jajahan, sebelum dirombak oleh kekuatan reformasi, seperti Uni Soviet
Rusia, Yugoslavia, Afrika Selatan, dan Indonesia di masa pemerintahan Orde
Baru. Ciri-ciri dari masyarakat majemuk yang otoriter dan militeristik ini
terutama berbentuk kekejaman dan kekerasan terhadap rakyat atau warga
masyarakatnya sendiri. Kekejaman dan kekerasan terhadap
rakyatnya sendiri tersebut dilakukan dalam upaya menguasai secara absolut
sumber-sumber daya ekonomi dan alam oleh penguasa dan oknum-oknum serta
kroni-kroninya.
Masalah yang
pada umumnya dihadapi oleh sebuah masyarakat majemuk, seperti Indonesia, adalah
hubungan antara sistem nasional atau pemerintah pussat dengan
masyarakat-masyarakat sukubangsa yang tercakup dalam masyarakat tersebut.
Masyarakat-masyarakat sukubangsa telah ada sebelum adanya masyarakat majemuk
yang dikuasai oleh sistem nasional. Masyarakat-masyarakat tersebut hidup di dan
dari sumber-sumber daya yang ada dalam lingkungan alam dan fisik yang merupakan
hak adat atau ulayat mereka. Permasalahan ini muncul pada rezim yang berkuasa
itu berusaha untuk menguasai sumber-sumber daya alam yang ada dalam wilayah hak
ulayat masyarakat-masyarakat sukubangsa setempat dengan menggunakan acuan hukum
nasional yang menapikan hukum adat atau hak ulayat warga masyarakat setempat.
Pada waktu rezim
penguasa tersebut masih berkuasa tidak ada satupun warga masyarakat tersebut
yang berani menentangnya, dan tidak juga kelompok-kelompok atau masyarakat-masyarakat
sukubangsa yang di eksploitasi hak ulayatnya tersebut berani menghalanginya.
Tetapi, begitu rezim otoriter tersebut jatuh maka berbagai bentuk perambahan
terhadap perussahaan-perusahaan dari oknum-oknum pemerintah pusat dan
kroni-kroninya bermunculan sebagai kerusuhan-kerusuhan sosial dan konflik antar
sukubangsa bermunculan. Pendapat umum yang
mengatakan bahwa kebangkitan mereka yang semula tertekan oleh rezim otoriter
dan militeristik tidaklah dapat disangkal. Tetapi pendapat para pakar yang
ditahun-tahun 1999-2001 yang bermunculan ditelevisi yang mengatakan bahwa
konflik antar sukubangsa disebabkan oleh adanya kesenjangan sosial ekonomi
antara kelompok sukubangsa pendatang yang makmur hidupnya dan kelompok
sukubangsa setempat yang hidupnya melarat tidaklah benar.
Dimassa lampau
masyarakat-masyarakat sukubangsa hidup dengan berpedoman pada kebudayaan
masing-masing yang berlaku didalam wilayah masyarakat sukubangsa sendiri.
Anggota-anggota dari setiap masyarakat sukubangsa hidup dalam komuniti-komuniti
sukubangsa yang pada dasarnya bercorak homogen dengan masing-massing jatidiri
sukubangsa dan jatidiri budayanya dalam batas-batas wilayahnya sendiri.
Dikampung halamannya sendiri, masyarakat-masyarakat sukubangsa setempat dengan
kebudayaannya masing-masing adalah yang dominan sebagai pedoman bagi kehidupan
sehari-hari sebagaimana terwujud dalam pranata-pranata sosial mereka
masing-masing. Dimasa lampau hanya dikota-kota atau kota-kota pelabuhan dan
pusat-pusat perkotaan terdapat masyarakat campuran dari berbagai kelompok
sukubangsa. Sedangkan pada masa sekarang hampir seluruh wilayah Indonesia
secara sukubangsa telah menjadi masyarakat-masyarakat yang heterogen, dimana
anggota-anggota dari berbagai sukubangsa hidup secara berdampingan dalam
komuniti-komuniti pedesaan dari kelompok-kelompok sukubangsa setempat. Karena
itu, pada masa sekarang, hubungan antara sukubangsa telah menjadi lebih
intensif dari pada dimasa lampau.
Hal ini dapat
menyebabkan munculnya masalah-masalah berkenaan dengan kesukubangsaan serta
batas-batas sukubangsa dan perbedaan-perbedaan budaya ekonomi antara para
pendatang dengan penduduk setempat karena hampir semua pendatang yang hidup di
komuniti-komuniti masyarakat setempat mempunyai kebudayaan ekonomi yang lebih
maju dan agresif. Akibatnya adalah bahwa kebudayaan dari masyarakat sukubangsa
setempat yang semula adalah dominan menjadi ditantang dengan agresifitas para
pendatang, yang tantangan tersebut dapat dilihat sebagai tantangan atas
kebudayaan sukubansga setempat. Ini terutama terwujud melalui hubungan antar
pendatang dengan masyarakat setempat yang terpusat pada masalah kompetisi untuk
memperebutkan sumber-sumber daya. Permasalahan yang paling kritikal adalah
tingkat agresifitas ekonomi para pendatang dalam persaingan untuk memperebutkan
sumber-sumber daya dengan cara tidak mengindahkan berbagai aturan yang berlaku
setempat. Karena angota-angota masyarakat setempat melihat diri mereka sebagai
tuan rumah dan para pendatang tersebut dilihat sebagai melanggar aturan-aturan
adat yang berlaku.
Aturan-aturan
yang mengatur hubungan antara tuan rumah dengan tamunya tersirat dalam pepatah
yang berlaku dalam kehidupan semua masyarakat sukubangsa di Indonesia yang
berbunyi “dimana bumi dipijak disana langit dijunjung”. Artinya para pendatang
yang hidup dalam komuniti sukubangsa setempat supaya menghormati dan menjunjung
adat dan tradisi budaya yang berlaku setempat dengan cara mengikuti
aturan-aturan adat dan tradisi-tradisi budayanya dalam kehidupan sehari-hari. Pepatah
ini digunakan oleh warga masyarakat setempat untuk memantapkan posisi mereka
dalam menghadapi agresifitas ekonomi dari para pendatang dengan cara menekankan
bahwa posisi mereka adalah tuan rumah yang berhak atas segala sesuatu dalam
rumahnya sedangkan para pendatang hanya tamu yang harus tunduk pada
aturan-aturan yang berlaku dalam rumah tersebut. Dengan mengacu pada pepatah
ini, secara halus dan tidak langsung, para pendatang diperingatkan untuk tidak
mendominasi kehidupan mereka yang menjadi tuan rumah. Konflik-konflik antar
sukubangsa yang telah terjadi di berbagai daerah di Indonesia dapat dilihat
sebagai pelanggaran dari prinsip yang ada dalam pepatah tersebut.
Orang Madura di Kabupaten Sambas.
Orang Madura telah datang dan tinggal di Kalimantan Barat sejak tahun 1892an.
Sebelum perang dunia II, keberadaan mereka secara sosial dan ekonomi di
Kalimantan Barat tidak mempunyai arti penting. Karena, jumlah mereka itu kecil
dan karena posisi sosial mereka yang rendah yang pada umumnya adalah buruh
kasar. Pada masa sekarang, sebelum terjadinya kerusuhan tahun 1999, orang-orang
Madura hidup di hampir seluruh pelosok wilayah kabupaten Sambas, yaitu
didesa-desa dan didusun-dusun maupun didaerah perkotaan.
Orang Madura
hidup mengelompok diantara sesama orang Madura. Baik yang hidup dalam
komuniti-komunitiyang berupa dusun yang secara homogen dihuni oleh orang-orang
Madura dan yang terpisah sama sekali dari kehidupan orang-orang Melayu atau
Dayak, maupun yang hidup dalam komuniti-komuniti yang kesemua warganya adalah
orang Madura yang berada dalam lingkungan wilayah desa orang Melayu atau desa
orang Dayak. Dalam keadaan demikian, kampung atau komuniti orang Madura
bertetangga dengan komuniti-komuniti orang Melayu atau Dayak setempat. Didaerah
perkotaan, dikota Singkawang misalnya, mereka juga hidup mengelompok dalam
lingkungan ketetanggaan yang kesemuanya adalah orang Madura. Pusat dari sebuah
komuniti orang Madura adalah tempat ibadah mereka. Pada waktu jumlah mereka itu
sedikit maka tempat ibadah tersebut adalah langgar atau mushola. Bila jumlah
anggota komunitinya bertambah banyak maka pusat komuniti tersebut adalah
mesjid, yang biasanya dibarengi dengan adanya pesantren. Langgar atau mesjid
dan pesantren adalah eksklusif Madura. Karena bahasa yang digunakan adalah bahasa Madura. Kyai dari komuniti setempat
adalah tokoh panutan dunia akhirat bagi masing-masing warga masyarakat
setempat. Para kyai ini adalah guru ngaji dari anak-anak di masing-masing
komuniti Madura, dan imam dalam kegiatan-kegiatan sembahyang berjamaah atau
pemimpin upacara-upacara keagamaan yang mereka jalankan. Orang-orang Madura
hanya bersembahyang berjamaah di mesjid Madura, yang khotbahnya dilakukan dalam
bahasa Madura.
Menurut
orang-orang Melayu, Dayak, Cina, Bugis, Jawa, Batak, dan semua anggota
sukubangsa yang tinggal di kabupaten Sambas, baik yang tinggal di daerah
perkotaan maupun yang tinggal di daerah pedesaan, hidup berdampingan dengan
orang Madura hanya merugikan saja. Kerugian harta benda atau kehormatan dan
harga diri. Orang-orang Melayu merasa bahwa orang-orang Madura tidak menghargai
harkat martabat mereka sebagai manusia dan sebagai penduduk setempat, dan orang
Madura juga tidak memandang sebelah mata kepada adat istiadat Melayu yang
mereka junjung tinggi. Orang-orang Madura telah memperoleh keuntungan secara
berlebihan (tanah-tanah pertanian dan kebun, rumah, monopoli kegiatan-kegiatan
berjualan dan bisnis, monopoli eksploitasi batu dan penambangan emas, kayu dan
berbagai hasil hutan lainnya) dengan cara-cara curang, ancaman, pemerasan, dan
kekerasan berupa teror mental dan penyiksaan serta pembunuhan. Orang-orang
Madura tidak pernah merasa bersalah terhadap warga masyarakat setempat yang
dirugikannya secara curang walaupun perbuatan tersebut secara etika dan moral
yang berlaku setempat dan maupun secara umum adalah perbuatan yang salah dan
melanggar hukum.
Warga masyarakat
setempat yang berasal dari berbagai sukubangsa dan lapisan sosial di kabupaten
Sambas melihat orang-orang Madura sebagai pencuri, perampok, dan preman atau
tukang palak. Waktu saya katakan kepada mereka dalam diskusi-diskusi kelompok
di kota Sambas, Tebas, Pemangkat, dan di ibukota kecamatan Jawai maupun secara
pribadi dalam berbagai wawancara, bahwa orang-orang Madura yang pencuri,
perampok, preman dan tukang palak itu tidak semua orang Madura di Sambas,
mereka semuanya membantah pernyataan saya. Yang menarik untuk diperhatikan
adalah bahwa orang-orang Melayu tersebut memberikan contoh-contoh berdasarkan
pengalaman masing-masing dan yang dibenarkan oleh yang lainnya, mengenai
bagaimana mereka itu telah dirugikan oleh orang-orang Madura. Bahkan mereka
mengatakan bahwa bos-bos para preman adalah para kyai yang tokoh masyarakat
Madura setempat atau mereka yang bergelar haji dan kaya.
Menurut mereka,
luas tanah dari kebun dan dari sawah serta pekarangan atau halaman rumah mereka
bisa bergeser semakin kecil dan menciut dari waktu ke waktu karena pagar atau
batas tanah, yang berupa pagar hidup, digeser dari waktu ke waktu si tetangga
yang Madura. Begitu juga padi di sawah, palawija, buah-buahan di pohon adalah
mereka yang menanam tetapi yang memetik hasilnya adalah orang Madura. Mereka
tidak berani untuk melarangnya karena takut diparang. Ayam dan itik tidak
sempat bertelur, kata mereka, karena hilang dari kandang pada waktu
binatang-binatang tersebut sudah menjadi besar, dan berbagai contoh lainnya
yang amat banyak untuk disebutkan satu-persatu. Sealnjutnya mereka menunjukan
kasus-kasus monopoli pelayanan transportasi di kota Sambas dan Singkawang
misalnya, yang telah dilakukan dengan ancaman terhadap orang-orang yang bukan
Madura yang melakukan kegiatan pelayanan transportasi. Ancaman tersebut
bertujuan agar mereka yang bukan Madura meninggalkan kegiatan mereka itu. Juga
pemalakan terhadap supir-supir angkutan umum yang bukan orang Madura, pemalakan
atas usaha-usaha dagang dan bisnis, dan pemalakan terhadap warung-warung atau
toko-toko, dan berbagai kegiatan pencurian dan pemerasan yang dilakukan oleh
orang-orang Madura.
Orang-orang
Madura, tua dan muda, laki-laki dan perempuan, selalu menyelipkan sebilah pisau
atau badik di pinggang mereka pada waktu mereka itu berada ditempat-tempat
umum. Seringkali mereka itu dengan sengaja menonjolkan senjata yang ada
dipinggang mereka dengan tujuan untuk menakut-nakuti warga masyarakat yang ada
di tempat-tempat umum atau pasar. Walaupun sudah ada larangan yang dikeluarkan
oleh pemerintah daerah kabupaten Sambas setelah peristiwa kerusuhan
Dayak-Madura di Sanggoledo pada tahun 1996-1997, tetapi tetap saja orang-orang
Madura di kabbupaten Sambas selalu membawa senjata tajam di tempat-tempat umum.
Alasan mereka adalah bahwa pisau atau badik tersebut berfungsi sebagai
pengganti tulang rusuk ketujuh, yang hanya ada enam buah. Orang-orang Madura
selalu dengan sigap mencabut badik atau parang yang ada dipinggang mereka untuk
menyelesaikan berbagai persengketaan yang mereka hadapi.
Oleh warga
masyarakat setempat yang berasal dari berbagai sukubangsa, orang-orang Madura
dikenal sebagai sebuah kelompok sukubangsa yang kuat solidaritas sosial di
antara sesamanya dalam menghadapi orang luar yang bukan orang Madura. Menurut
mereka, bila seorang Madura mengalami kesulitan karena yang bersangkutan
bertengkar dengan warga setempat yang menjadi tetangganya maka orang-orang
Madura lainnya yang menjadi sesama warga komunitinya akan membelanya sehingga
orang Madura yang bersangkutan tersebut memenangkat pertengkaran atau konflik
yang terjadi. Mereka tidak perduli apakah orang Madura yang bertengkar tersebut
berada dipihak yang salah atau di pihak yang benar, pokoknya harus dimenangkan.
Bahkan menurut seorang petugas kepolisian di Tebas, mereka juga pernah
menyerang sebuah pos Polisi di Tebas dan Kantor Polsek Tebas. Bahkan di
Pontianak, ibukota Kalimantan Barat, orang-orang Madura pernah menyerang kantor
Polres. Orang-orang yang bukan Madura di kabupaten Sambas memperoleh kesan
bahwa orang-orang Madura mempunyai prinsip satu untuk semua dan semua untuk
satu. Prinsip tersebut telah digunakan oleh orang-orang Madura dalam upaya
mereka untuk mendominasi kehidupan sosial, ekonomi dan politik di kabupaten
Sambas dan di Kalimantan Barat pada umumnya. Pendominasian tersebut telah
dilakukan oleh orang-orang Madura dengan cara-cara kekerasan dan kecurangan
yang bertentangan dengan adat istiadat orang Melayu maupun adat istiadat Dayak
yang berlaku setempat.
Orang-orang
Melayu yang tidak terbiasa hidup dengan cara-cara kekerasan dalam memenangkan
sesuatu persaingan menjadi ketakutan, dan lebih-lebih lagi dengan cara kekerasan
yang curang (menurut orrang Melayu selalu menclurit atau menusuk pihak lawan
dengan pisau dari belakang pada waktu satu lawan satu dan pada waktu siorang
Melayu dalam keadaan lengah). Selama sekian puluh tahun dan sekian generasi
orang-orang Melayu menekan rasa ketakutan dan frustasi dengan harapan bahwa
penegak hukum akan dapat mengatasi ketidak adilan tersebut. Tetapi harapan
mereka ternyata tidak pernah terlaksana. Bahkan menurut kesan orang-orang
Melayu yang saya wawancarai, orang-orang Madura semakin merajalela yang membuat
orang-orang Melayu dan mereka yang tergolong bukan orang Madura menjadi semakin
ketakutan. Orang-orang Melayu memang takut menghadapi orang-orang Madura yang
biasa menggunakan cara-cara kekerasan yang dilakukan secara curang. Mereka
biasa melakukan cara-cara pengroyokan dan melukai lawan atau korbannya dengan
senjata tajam. Pada dasarnya orang-orang Melayu adalah
individualis-individualis yang tidak mengenal adanya solidaritas sukubangsa,
seperti yang menjadi ciri-ciri dari orang Madura. Karena itu, dalam menghadapi
orang-orang Madura didalam kehidupan mereka sehari-hari, mereka itu berada
dalam posisi orang-perorang atau sendirian yang dihadapkan pada sebuah kelompok
orang Madura yang bersenjata yang biasa menggunakan senjatanya dan mempunayai
kemampuan untuk menghancurkan si Melayu. Orang-orang Melayu juga mengaku bahwa
dalam berargumentasi mengenai sesuatu kebenaran dengan orang-orang Madura
mereka itu selalu kalah, karena orang-orang Madura mempunyai acuan logika yang
aneh dan kokoh atau dipertahankan secara keras kepala.
Salah seorang
dari orang-orang Melayu di Pemangkat yang saya wawancarai menunjukan contoh
bahwa, pada waktu dia menegur seorang tetangganya yang mengambil buah kelapa
dalam jumlah banyak dari pohon-pohon kelapa yang tumbuh di pekarangan rumahnya,
si tetangga Madura tersebut mengatakan bahwa dia telah diberi izin olehnya
kemarin untuk mengambil buah kelapa yang dimilikinya. Si orang Melayu tersebut
mengatakan: “itu kan kemarin, dan saya memberikan izin untuk mengambil satu
atau dua buah kelapa untuk memasak lauk di rumah, dan bukannya untuk diambil
dalam jumlah banyak untuk dijual kepasar”. Si orang Madura mengatakan: “izinnya
tidak mengatakan kelapa yang saya ambil itu untuk masak atau untuk keperluan
lainnya, dan juga tidak dikatakan berapa buah kelapa yang dapat saya ambil.
Izin sudah kamu berikan kepada saya, apa kamu mau megingkari izin yang telah
kamu berikan? Saya minta ganti rugi kalau tidak kamu izinkan, atau kamu akan
saya sakiti kalau tidak diberi ganti rugi”. Sambil berkata-kata tersebut si
tetangga Madura memegang gagang parangnya. Menurut cerita si orang Melayu
selanjutnya, selama enam bulan si tetangga Madura tersebut menguras habis buah
kelapa di pohon-pohon kelapa yang dimilikinya, tanpa dia mampu untuk
menolaknya. Akhirnya si orang Melayu dan keluarganya memutuskan untuk pindah
rumah ke Pontianak. Contoh lain adalah cerita seorang dosen Universitas Tanjung
Pura, Pontianak, yang pulang ke rumah mendapati seorang Madura sedang memetik
buah-buah jambu yang dipohon di halaman rumahnya. Dia bertanya: kamu mencuri
buah-buah jambu saya, ya?” si orang Madura tersebut dengan tenang menjawab:
saya tidak mencuri. Mencuri itu dilakukan pada malam hari, dan itu dosa. Saya
hanya mengambil buah jambu”.
Kerusuhan Sambas dan Pemicunya
Frustasi sosial yang meluas dan mendalam karena merasa bahwa kehidupan mereka
itu didominasi secara curang dan sewenang-wenang dan dengan cara kekerasan oleh
orang Madura telah membuat orang Melayu hanya mampu menggerutu dan mengeluh.
Tidak seorang pun di antara mereka, sebelum kerusuhan Melayu-Madura itu
terjadi, yang berani menantang dominasi tersebut. Mereka hanya ikut bersorak
sorai di dalam hati pada waktu terjadi kerusuhan Dayak-Madura di Sanggau Ledo
pada tahun 1996-1997, dimana orang-orang Madura yang terbunuh cukup banyak
jumlahnya. Kebudayaan dan kesukubangsaan orang Dayak berbeda dari yang dipunyai
olehn orang Melayu. Corak kesukubagsaan orang Dayak mirip dengan corak
kesukubangsaan yang dipunyai oleh orang Madura. Kebudayaan orang Dayak juga
mirip dengan kebudayaan orang Madura. Orang Dayak mampu untuk melawan kekerasan
orang Madura dengan kekerasan dan mampu untuk melawan kekejaman dengan
kekejaman yang sama atau bahkan lebih kejam dari pada yang telah dilakukan oleh
orang-orang Madura.
Menurut
keterangan sejumlah tokoh Dayak dan tokoh Madura yang saya jumpai di Singkawang
pada tahun 1999, antara tahun 1962-1999 telah terjadi kerusuhan berdarah
sebanyak 11 kali. Kerusuhan dengan banyaknya korban yang terbunuh dan harta
benda yang hancur yang diderita oleh kedua belah pihak adalah kerusuhan yang
terjadi pada tahun 1996-1997 (lihat Suparlan 1998). Pada setiap konflik
berdarah antara Dayak-Madura yang telah terjadi selama 11 kali tersebut,
konflik selalu dihentikan dengan sebuah upacara perjanjian damai yang diwakili
oleh para tokoh dari masing-masing pihak. Tetapi setiap perjanjian perdamaian
Dayak-Madura yang telah dibuat sebanyak 11 kali tersebut selalu dilanggar oleh
orang Madura yang dengan secara khilaf melukai atau membunuh orang Dayak dalam
suatu persengketaan.
Orang Madura
yang berani mati bukan hanya karena memang berani mati yang dikarenakan
mempunyai prinsip “harga nyawa cuma sebenggol”, tetapi juga karena mereka itu
percaya pada do’a dan jimat atau isim yang diberikan oleh para kyai atau guru
mereka. Sedangkan orang Dayak memperoleh kekuataan dan keberanian dari roh-roh
panglima perang yang menjadi nenek moyang mereka yang dapat dipanggil
sewaktu-waktu untuk melindungi dan mempertahankan ketentraman kehidupan mereka.
Untuk itu mereka harus melakukan upacara keagamaan yang dinamakan matok untuk
memanggil tokoh panglima tersebut, yang dinamakan kamang tariu dimana kata
tariu sebenarnya berarti teriakan , yaitu teriakan perang yang menggetarkan
seluruh sendi tulang musuh yang mendengarnya, untuk merasuk ke dalam tubuh
orang-orang Dayak yang memanggilnya yang merupakan anak-anak cucu dari kamang
tariu atau si panglima perang. Dalam upacara tersebut persyaratan utama adalah
menyembelih ayam jantan berbulu merah dan anjing berbulu merah untuk
orang-orang Dayak Sungkung, Bengkayang, Selamatan, dan Seluas. Sedangkan untuk
orang-orang Dayak di Jawai, Tebas, Pemangkat, Paloh dan sekitarnya yang
disembelih adalah ayam jantan berbulu hitam dan anjing yang juga berbulu hitam.
Darah hewan ini ditampung di sebuah mangkuk, sehingga mangkuk yang semula putih
itu menjadi berwarna merah. Mangkuk berwarna merah dengan darah atau dikenal
dengan nama ‘mangkuk merah’ inilah tanda bahwa orang Dayak sudah siap untuk
berperang. Orang-orang Dayak yang berpartisipasi dalam upacara tersebut
melantunkan do’a dan menari-nari dan menjilat darah dalam mangkuk atau
menghirup baunya, yang dengan cara itu dipercaya bahwa kamang tariu telah
merasuk kedalam tubuh mereka masing-masing. ‘mangkuk merah’ ini kemudian diedarkan
kepada orang-orang Dayak lainnya yang tinggal dikomuniti yang bersangkutan
maupun yang tinggal di komuniti-komuniti lainnya yang tersebar di kabupaten
Sambas. Pengedaran ‘mangkuk merah’ ke komuniti-komuniti Dayak di daerah
pedesaan yang luas adalah dimaksudkan bahwa peperangan telah siap untuk
dijalankan dan solidaritas Dayak diminta untuk diwujudkan dalam bentuk
partisipasi mereka di dalam kancah peperangan. Pada waktu peperangan telah
berakhir, seperti yang terjadi antara orang Dayak melawan Madura, maka roh
kamang tariu atau panglima perang itu harus dikembalikan ketempat
peristirahatannya yang semula. Untuk itu perlu diadakan upacara lagi yang
biayanya lebih mahal dari pada upacara memanggil kamang tariu. Menurut
keterangan seorang tokoh Dayak yang tinggal di Singkawang upacara pengembalian
roh-roh kamang tariu itu harus dilakukan agar para roh tersebut tidak
mengganggu kehidupan sehari-hari orang Dayak yang mencintai kehidupan dan
kedamaian dengan sesama baik yang terlihat maupun yang tidak dan baik dengan
manusia maupun dengan sesama mahluk lainnya.
Berbeda dengan
konflik antara orang Dayak dengan orang Madura yang telah terjadi sebanyak 11
kali, maka konflik antara orang Melayu dengan orang Madura hanya terjadi sekali
yang berupa konflik berdarah antar dua sukubangsa ini secara besar-besaran dan
menyeluruh serta habis-habisan. Kesan saya, dari kerusuhan-kerusuhan yang
terjadi, yang sempat saya amati di wilayah Sungai Raya, adalah mengamuknya
tokoh seperti Hang Jebat dalam cerita hikayat Hang Tuah. Orang-orang Melayu
yang biasanya lemah lembut budi pekerti serta tutur sapanya dan penakut, telah
berubah menjadi beringas dalam dalam kelompok-kelompok amuk massa yang tidak
dapat dibendung atau dikendalikan lagi dalam upaya untuk menghancurkan orang-orang
Madura dengan segala harta bendanya yang ada setempat. Keberingasan orang-orang
Melayu, khususnya para remaja dan pemudanya, telah dipicu oleh peristiwa “Parit
Setia” dan oleh sejumlah peristiwa yang sama yang berturut-turut terjadi
setelah itu.
Pada tanggal 19
Januari 1999, tepat pada hari Raya Idul Fitri, warga masyarakat desa Parit
Setia, kecamatan Jawai diserang oleh kira-kira 200an orang Madura dari desa
Sarimakmur, kecamatan Tebas yang bertetangga dengan kecamatan Jawai. Tiga orang
penduduk desa Parit Setia dibunuh dan sejumlah lainnya luka-luka. Dua orang
Polisi yang menghadang orang-orang Madura tersebut dibuat tidak berdaya dan
semua senjata mereka dirampas. Peristiwa “Parit Setia” tersebut bermula dari
peristiwa yang telah terjadi sebelumnya, yaitu pada tanggal 17 Januari 1999,
dimana seorang pencuri asal Madura dari desa Sarimakmur, kecamatan Tebas,
tertangkap basah oleh tuan rumah pada waktu sedang mengumpulkan barang-barang
di rumah dari penduduk setempat setelah mebongkar pintu rumah tersebut. Pencuri
sial tersebut dikeroyok, ditangkap, dan dipukuli sampai babak belur oleh tuan
rumah yang kecurian dan oleh para tetangganya. Pada pagi harinya, tanggal 18
Januari 1999, pencuri tersebut diserahkan kepada Pos Polisi setempat. Petugas
kepolisian di Pos Polisi membawa si pencuri ke Puskemas untuk diobati
luka-lukanya, dan setelah itu disuruh pulang. Alasannya karena Polisi tersebut
tidak berani menanggung resiko kalau Pos Polisi diserang dan dihancurkan oleh
orang-orang Madura lainnya.
Apa yang menyakitkan hati orang-orang Melayu dari peristiwa
penyerangan di desa Parit Setia oleh orang-orang Madura dari desa Sarimakmur
adalah teriakan ‘Allah hu Akbar’ berkali-kali yang dikumandangkan oleh para
penyerang tersebut. Teriakan ‘Allah hu Akbar’ ini dibarengi dengan
teriakan-teriakan ejekan “Melayu Kerupuk” dan “Melayu Kalah 3-0” (artinya orang
Melayu di desa Parit Setia meninggal 3 orang dan tidak satupun orang Madura
yang meninggal ataupun terluka dalam penyerangan tersebut). Teriakan-teriakan
ini terdengar dengan jelas oleh orang-orang Melayu warga desa Parit Setia yang
bersembunyi di semak-semak belukar di desa itu dan menyaksikan pawai kemenangan
orang-orang Madura yang dengan berkendaraan truk berkeliling desa. Para pemuda
Melayu dari desa-desa di kecamatan-kecamatan yang berdekatan dengan kecamatan
Jawai menjadi resah dan bersiap-siap untuk menyerang desa Sarimakmur, dan
menghancurkan rumah-rumah orang Madura. Berkat hambatan dan cegahan dari
orang-orang tua mereka, maka upaya para pemuda dan remaja Melayu itu dapat
digagalkan. Pada tanggal 23 Januari 1999 berkat bantuan dari para pejabat di
kabupaten Sambas dan tokoh-tokoh Melayu, para tokoh desa masyarakat Parit Setia
dan desa Sarimakmur di pertemukan dan diadakan perdamaian. Suasana yang panas
telah menjadi reda berkat perjanjian perdamaian tersebut, walaupun orang-orang
Melayu masih memendam rasa sakit hati karena tidak sepatah kata ‘minta maaf’
pun yang dilontarkan oleh pihak orang Madura atas kematian dan luka-luka yang
diderita oleh warga desa Parit Setia.
Pada tanggal 21
Januari seorang preman Madura yang naik kendaraan umum dari kota Singkawang ke
arah kota Sambas tidak mau membayar biaya angkutan pada waktu dia berhenti di
dekat desa Semparuk. Merasa sakit hati karena dipelototi oleh kenek dan supir
yang orang Melayu, si preman Madura tersebut pulang ke rumah mengambil clurit.
Dengan berbekal clurit dia menghadang kendaraan umum tersebut yang kembali ke
arah kota Singkawang, menyuruh kendaraan tersebut berhenti dan menclurit si
kenek. Pada jam 01.00 tanggal 22 Januari 1999, keesokan harinya, orang-orang
Melayu di desa Semparuk yang sebagian besar adalah para pemuda dan remaja
menyerang rumah si preman Madura yang bernama Rodi bin Muharap. Tetapi Rodi bin
Muharap tidak ditemukan dan sebaliknya seorang pemuda Melayu meninggal dunia
karena ditembak dengan menggunakan senjata lantak oleh orang-orang Madura teman
Rodi. Peristiwa kematian pemuda Melayu tersebut membakar kemarahan para pemuda
dan remaja Melayu yang sudah tidak dapat dikendalikan lagi oleh orang-orang tua
mereka. Pada jam 02.00 pagi hari itu juga mereka menyerang dan membakar serta
menghancurkan rumah-rumah dan ruko-ruko milik orang Madura yang ada di
desa-desa dan pinggiran kota di wilayah kecamatan Tebas, Pemangkat, dan Jawai.
Sejumlah orang Madura meninggal dunia dan luka-luka, dan tercatat 60 buah
bangunan rumah dan ruko yang dihancurkan. Kegiatan untuk menghancurkan
orang-orang Madura dan rumah-rumah serta harta benda mereka berlangsung terus
sampai tanggal 27 Februari 1999.
Pada tanggal 27
Februari 1999 penyerangan orang-orang Melayu terhadap orang-orang Madura
dihentikan atas perintah orang tua dan tokoh-tokoh Melayu di Sambas, karena
pada hari itu ditanda tangani perjanjian perdamaian orang Melayu-orang Madura
oleh para tokoh dari kedua belah pihak dengan disaksikan oleh pimpinan dan para
pejabat kabupaten Sambas. Tokoh-tokoh dari kedua belah pihak juga sepakat untuk
masing-masing secara individual tidak membawa senjata tajam di tempat-tempat
umum. Tetapi perjanjian tersebut dilanggar oleh seorang Madura asal desa
Sempadung yang pada tanggal 14 Maret 1999 menikam seorang pemuda Melayu yang
menegurnya karena membawa parang secara terbuka di jalan umum. Hari itu juga
orang-orang Melayu mengambil tekad tidak akan lagi berdamai dengan orang-orang
Madura. Sejak saat itu juga perang antara para pemuda Melayu dengan orang-orang
Madura berlangsung di desa-desa dan di kota-kota dalam wilayah kabupaten
Sambas. Kalau sebelum peristiwa ini orang-orang Madura yang menyerang
orang-orang Melayu yang ketakutan, maka keadaannya sekarang menjadi terbalik.
Kampung-kampung orang Madura di kota Singkawang dan di desa-desa yang tercakup
dalam tiga kecamatan di bagian selatan dari kota Singkawang secara relatif
masih aman karena belum diserang habis-habisan oleh orang-orang Melayu sampai
dengan minggu ke-empat bulan April 1999. sedangkan di wilayah timur dan utara
di kabupaten Sambas keadaannya dapat dikatakan sudah tidak ada lagi orang
Madura dan rumah serta harta milik mereka yang utuh. Orang-orang Madura tersebut
dengan cepat diungsikan dengan pengawalan ketat oleh para petugas keamanan
untuk menghindari jumlah korban yang lebih besar daripada yang sudah ada.
Kerusuhan
berdarah antara orang Melayu dengan orang Dayak nampaknya tidak cukup bagi
orang Madura. Karena mereka itu masih mencari musuh lainnya, yaitu orang Dayak
yang telah menjadi musuh bebuyutan mereka. Pada tanggal 16 Maret 1999, pukul
15.00 waktu setempat, di dusun Parakan Tanjung (yang merupakan dusun yang
komunitinya secara homogen terdiri atas orang-orang Madura), dari desa Harapan,
kecamatan Pemangkat, sekelompok orang Madura mencegat sebuah kendaraan umum
yang melintas di jalan raya di tepi dusun tersebut. Kendaraan umum tersebut
dalam perjalanan mengangkut buruh dan pekerja dari daerah kecamatan kota Sambas
ke arah kota Singkawang. Dalam kendaraan umum tersebut terdapat dua orang
Melayu, tiga orang Jawa dan 26 orang Dayak. Kesemua penumpang dapat melarikan
diri dan bersembunyi di semak dan belukar di tepi hutan dan kemudian
diselamatkan oleh orang-orang Melayu di desa Melayu yang berdekatan, kecuali
satu orang Dayak yang dapat ditangkap oleh orang-orang Madura dan dibunuh di
tempat itu juga. Orang Dayak yang dibunuh oleh orang Madura tersebut, Martinus
amat bin Paran, adalah warga desa Selawit, kecamatan Salamantan, yang terletak
di sebelah timur kota Singkawang.
Kematian
Martinus telah menyebabkan keluarga dan orang-orang Dayak melakukan upacara
matok dan mengedarkan ‘mangkuk merah’ kekomuniti-komuniti Dayak lainnya di
kabupaten Sambas. Penyerangan terhadap orang-orang Madura sekarang ini tidak
lagi hanya dilakukan oleh orang-orang Melayu tetapi juga oleh orang-orang Dayak
dengan cara-cara seperti pada waktu masih berlakunya pengayauan, dengan
cara-cara pemenggalan kepala dan mutilasi tubuh serta kanibalisme. Situasi
masyarakat kabupaten Sambas betul-betul rusuh. Petugas keamanan dari Polri dan
Brimob serta PHH (pasukan Anti Huru Hara dari ABRI) tidak mampu untuk mengatasi
kerusuhan dan pembunuhan serta pembakaran dan penghancuran rumah-rumah orang Madura.
Orang-orang Madura di timur kota Singkawang, yaitu di daerah Bengkayang dan
sekitarnya, habis dibunuh oleh orang-orang Dayak atau lari mengungsi
ketempat-tempat penampungan pengungsian dan berada dibawah perlindungan petugas
keamanan. Setiap hari pada waktu itu selalu terdengar berita dibunuh atau
dilukainya orang-orang Madura serta pembakaran rumah dan harta benda mereka.
Korban yang terbunuh dan luka-luka bukannya hanya orang Madura tetapi juga
orang-orang Melayu dan Dayak walaupun jumlahnya relatif sedikit. Jumlah
pengungsi Madura yang tercatat di tempat-tempat penampungan pengungsi di
Pontianak dan di kota Singkawang ada 37.000 orang. Orang-orang Melayu dan Dayak
di kabupaten Singkawang telah bertekad untuk menghancurkan atau mengusir orang
Madura dan berbagai atributnya dari wilayah kabupaten Sambas. Cara-cara yang
mereka lakukan adalah dengan kekerasan, karena menurut mereka orang Madura
hanya mengerti bahasa kekerasan. Karena situasinya yang rusuh ini, Kapolda
Kalimantan Barat pada bulan April 1999 mengeluarkan perintah tembak di tempat
bagi para perusuh dan menangkap siapa saja yang kedapatan membawa senjata tajam
di tempat-tempat umum.
Sumber:
http://etnobudaya.net/2009/09/29/konflik-antar-sukubangsa-melayu-dan-dayak-dengan-madura-di-kab-sambas-kalbar/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar