Jumat, 04 Desember 2015

Kemajemukan Masyarakat Indonesia Dari Segi Konflik

Indonesia masyarakat majemuk
Indonesia adalah sebuah masyarakat majemuk (plural society), yaitu sebuah masyarakat yang terdiri atas masyarakat-masyarakat suku bangsa yang dipersatukan oleh sistem nasional sebagai sebuah masyarakat negara dan sebagai bangsa atau nation . model masyarakat majemuk yang dikenal dalam ilmu-ilmu sosial ini bermula dari Furnivall (1948) yang mengidentifikasikan masyarakat jajahan Hindia Belanda sebagai sebuah masyarakat majemuk. Furnifall melihat masyarakat jajahan Hindia Belanda ini sebagai sebuah masyarakat yang terdiri atas kumpulan orang-orang atau kelompok-kelompok yang berbaur tetapi tidak menjadi satu. Masing-masing kelompok mempunyai agama, kebudayaan, dan bahasa, serta cita-cita dan cara-cara hidup mereka masing-masing.
Lebih lanjut dikatakan oleh Furnifall bahwa masyarakat seperti ini terdiri atas bagian-bagian atau segmen yang merupakan komuniti-komuniti yang hidup saling berdampingan dalam sebuah satuan politik, tetapi yang terpisah atau tidak merupakan sebuah kesatuan. Mereka ini merupakan sebuah masyarakat karena di persatuan secara paksa oleh pemerintahan nasional, yaitu pemerintah jajahan Hindia Belanda. Kekuasaan absolut berada ditangan sejumlah kecil golongan elite, yang merupakan penguasa jajahan yang dominan, yang menuntut penyerahan absolut dari masyarakat jajahan demi kepentingan penguasa jajahan tersebut. Kepentingan penguasa jajahan tersebut adalah penguasaan atas sumber-sumber daya ekonomi dan alam serta pendistribusiannya.
Masyarakat majemuk pada umumnya mempunyai ciri yang menyolok dalam hal corak pemerintahannya, yaitu bercorak otoriter dan militeristik sebagaimana yang menjadi corak dari semua pemerintahan dimasyarakat jajahan. Coraknya yang otoriter dan militeristik ini juga terdapat dalam masyarakat-masyarakat majemuk yang bukan negara jajahan, sebelum dirombak oleh kekuatan reformasi, seperti Uni Soviet Rusia, Yugoslavia, Afrika Selatan, dan Indonesia di masa pemerintahan Orde Baru. Ciri-ciri dari masyarakat majemuk yang otoriter dan militeristik ini terutama berbentuk kekejaman dan kekerasan terhadap rakyat atau warga masyarakatnya sendiri. Kekejaman dan kekerasan terhadap rakyatnya sendiri tersebut dilakukan dalam upaya menguasai secara absolut sumber-sumber daya ekonomi dan alam oleh penguasa dan oknum-oknum serta kroni-kroninya.
Masalah yang pada umumnya dihadapi oleh sebuah masyarakat majemuk, seperti Indonesia, adalah hubungan antara sistem nasional atau pemerintah pussat dengan masyarakat-masyarakat sukubangsa yang tercakup dalam masyarakat tersebut. Masyarakat-masyarakat sukubangsa telah ada sebelum adanya masyarakat majemuk yang dikuasai oleh sistem nasional. Masyarakat-masyarakat tersebut hidup di dan dari sumber-sumber daya yang ada dalam lingkungan alam dan fisik yang merupakan hak adat atau ulayat mereka. Permasalahan ini muncul pada rezim yang berkuasa itu berusaha untuk menguasai sumber-sumber daya alam yang ada dalam wilayah hak ulayat masyarakat-masyarakat sukubangsa setempat dengan menggunakan acuan hukum nasional yang menapikan hukum adat atau hak ulayat warga masyarakat setempat.
Pada waktu rezim penguasa tersebut masih berkuasa tidak ada satupun warga masyarakat tersebut yang berani menentangnya, dan tidak juga kelompok-kelompok atau masyarakat-masyarakat sukubangsa yang di eksploitasi hak ulayatnya tersebut berani menghalanginya. Tetapi, begitu rezim otoriter tersebut jatuh maka berbagai bentuk perambahan terhadap perussahaan-perusahaan dari oknum-oknum pemerintah pusat dan kroni-kroninya bermunculan sebagai kerusuhan-kerusuhan sosial dan konflik antar sukubangsa bermunculan. Pendapat umum yang mengatakan bahwa kebangkitan mereka yang semula tertekan oleh rezim otoriter dan militeristik tidaklah dapat disangkal. Tetapi pendapat para pakar yang ditahun-tahun 1999-2001 yang bermunculan ditelevisi yang mengatakan bahwa konflik antar sukubangsa disebabkan oleh adanya kesenjangan sosial ekonomi antara kelompok sukubangsa pendatang yang makmur hidupnya dan kelompok sukubangsa setempat yang hidupnya melarat tidaklah benar.
Dimassa lampau masyarakat-masyarakat sukubangsa hidup dengan berpedoman pada kebudayaan masing-masing yang berlaku didalam wilayah masyarakat sukubangsa sendiri. Anggota-anggota dari setiap masyarakat sukubangsa hidup dalam komuniti-komuniti sukubangsa yang pada dasarnya bercorak homogen dengan masing-massing jatidiri sukubangsa dan jatidiri budayanya dalam batas-batas wilayahnya sendiri. Dikampung halamannya sendiri, masyarakat-masyarakat sukubangsa setempat dengan kebudayaannya masing-masing adalah yang dominan sebagai pedoman bagi kehidupan sehari-hari sebagaimana terwujud dalam pranata-pranata sosial mereka masing-masing. Dimasa lampau hanya dikota-kota atau kota-kota pelabuhan dan pusat-pusat perkotaan terdapat masyarakat campuran dari berbagai kelompok sukubangsa. Sedangkan pada masa sekarang hampir seluruh wilayah Indonesia secara sukubangsa telah menjadi masyarakat-masyarakat yang heterogen, dimana anggota-anggota dari berbagai sukubangsa hidup secara berdampingan dalam komuniti-komuniti pedesaan dari kelompok-kelompok sukubangsa setempat. Karena itu, pada masa sekarang, hubungan antara sukubangsa telah menjadi lebih intensif dari pada dimasa lampau.
Hal ini dapat menyebabkan munculnya masalah-masalah berkenaan dengan kesukubangsaan serta batas-batas sukubangsa dan perbedaan-perbedaan budaya ekonomi antara para pendatang dengan penduduk setempat karena hampir semua pendatang yang hidup di komuniti-komuniti masyarakat setempat mempunyai kebudayaan ekonomi yang lebih maju dan agresif. Akibatnya adalah bahwa kebudayaan dari masyarakat sukubangsa setempat yang semula adalah dominan menjadi ditantang dengan agresifitas para pendatang, yang tantangan tersebut dapat dilihat sebagai tantangan atas kebudayaan sukubansga setempat. Ini terutama terwujud melalui hubungan antar pendatang dengan masyarakat setempat yang terpusat pada masalah kompetisi untuk memperebutkan sumber-sumber daya. Permasalahan yang paling kritikal adalah tingkat agresifitas ekonomi para pendatang dalam persaingan untuk memperebutkan sumber-sumber daya dengan cara tidak mengindahkan berbagai aturan yang berlaku setempat. Karena angota-angota masyarakat setempat melihat diri mereka sebagai tuan rumah dan para pendatang tersebut dilihat sebagai melanggar aturan-aturan adat yang berlaku.
Aturan-aturan yang mengatur hubungan antara tuan rumah dengan tamunya tersirat dalam pepatah yang berlaku dalam kehidupan semua masyarakat sukubangsa di Indonesia yang berbunyi “dimana bumi dipijak disana langit dijunjung”. Artinya para pendatang yang hidup dalam komuniti sukubangsa setempat supaya menghormati dan menjunjung adat dan tradisi budaya yang berlaku setempat dengan cara mengikuti aturan-aturan adat dan tradisi-tradisi budayanya dalam kehidupan sehari-hari. Pepatah ini digunakan oleh warga masyarakat setempat untuk memantapkan posisi mereka dalam menghadapi agresifitas ekonomi dari para pendatang dengan cara menekankan bahwa posisi mereka adalah tuan rumah yang berhak atas segala sesuatu dalam rumahnya sedangkan para pendatang hanya tamu yang harus tunduk pada aturan-aturan yang berlaku dalam rumah tersebut. Dengan mengacu pada pepatah ini, secara halus dan tidak langsung, para pendatang diperingatkan untuk tidak mendominasi kehidupan mereka yang menjadi tuan rumah. Konflik-konflik antar sukubangsa yang telah terjadi di berbagai daerah di Indonesia dapat dilihat sebagai pelanggaran dari prinsip yang ada dalam pepatah tersebut.
Orang Madura di Kabupaten Sambas.
Orang Madura telah datang dan tinggal di Kalimantan Barat sejak tahun 1892an. Sebelum perang dunia II, keberadaan mereka secara sosial dan ekonomi di Kalimantan Barat tidak mempunyai arti penting. Karena, jumlah mereka itu kecil dan karena posisi sosial mereka yang rendah yang pada umumnya adalah buruh kasar. Pada masa sekarang, sebelum terjadinya kerusuhan tahun 1999, orang-orang Madura hidup di hampir seluruh pelosok wilayah kabupaten Sambas, yaitu didesa-desa dan didusun-dusun maupun didaerah perkotaan.
Orang Madura hidup mengelompok diantara sesama orang Madura. Baik yang hidup dalam komuniti-komunitiyang berupa dusun yang secara homogen dihuni oleh orang-orang Madura dan yang terpisah sama sekali dari kehidupan orang-orang Melayu atau Dayak, maupun yang hidup dalam komuniti-komuniti yang kesemua warganya adalah orang Madura yang berada dalam lingkungan wilayah desa orang Melayu atau desa orang Dayak. Dalam keadaan demikian, kampung atau komuniti orang Madura bertetangga dengan komuniti-komuniti orang Melayu atau Dayak setempat. Didaerah perkotaan, dikota Singkawang misalnya, mereka juga hidup mengelompok dalam lingkungan ketetanggaan yang kesemuanya adalah orang Madura. Pusat dari sebuah komuniti orang Madura adalah tempat ibadah mereka. Pada waktu jumlah mereka itu sedikit maka tempat ibadah tersebut adalah langgar atau mushola. Bila jumlah anggota komunitinya bertambah banyak maka pusat komuniti tersebut adalah mesjid, yang biasanya dibarengi dengan adanya pesantren. Langgar atau mesjid dan pesantren adalah eksklusif Madura. Karena bahasa yang digunakan adalah bahasa Madura. Kyai dari komuniti setempat adalah tokoh panutan dunia akhirat bagi masing-masing warga masyarakat setempat. Para kyai ini adalah guru ngaji dari anak-anak di masing-masing komuniti Madura, dan imam dalam kegiatan-kegiatan sembahyang berjamaah atau pemimpin upacara-upacara keagamaan yang mereka jalankan. Orang-orang Madura hanya bersembahyang berjamaah di mesjid Madura, yang khotbahnya dilakukan dalam bahasa Madura.
Menurut orang-orang Melayu, Dayak, Cina, Bugis, Jawa, Batak, dan semua anggota sukubangsa yang tinggal di kabupaten Sambas, baik yang tinggal di daerah perkotaan maupun yang tinggal di daerah pedesaan, hidup berdampingan dengan orang Madura hanya merugikan saja. Kerugian harta benda atau kehormatan dan harga diri. Orang-orang Melayu merasa bahwa orang-orang Madura tidak menghargai harkat martabat mereka sebagai manusia dan sebagai penduduk setempat, dan orang Madura juga tidak memandang sebelah mata kepada adat istiadat Melayu yang mereka junjung tinggi. Orang-orang Madura telah memperoleh keuntungan secara berlebihan (tanah-tanah pertanian dan kebun, rumah, monopoli kegiatan-kegiatan berjualan dan bisnis, monopoli eksploitasi batu dan penambangan emas, kayu dan berbagai hasil hutan lainnya) dengan cara-cara curang, ancaman, pemerasan, dan kekerasan berupa teror mental dan penyiksaan serta pembunuhan. Orang-orang Madura tidak pernah merasa bersalah terhadap warga masyarakat setempat yang dirugikannya secara curang walaupun perbuatan tersebut secara etika dan moral yang berlaku setempat dan maupun secara umum adalah perbuatan yang salah dan melanggar hukum.
Warga masyarakat setempat yang berasal dari berbagai sukubangsa dan lapisan sosial di kabupaten Sambas melihat orang-orang Madura sebagai pencuri, perampok, dan preman atau tukang palak. Waktu saya katakan kepada mereka dalam diskusi-diskusi kelompok di kota Sambas, Tebas, Pemangkat, dan di ibukota kecamatan Jawai maupun secara pribadi dalam berbagai wawancara, bahwa orang-orang Madura yang pencuri, perampok, preman dan tukang palak itu tidak semua orang Madura di Sambas, mereka semuanya membantah pernyataan saya. Yang menarik untuk diperhatikan adalah bahwa orang-orang Melayu tersebut memberikan contoh-contoh berdasarkan pengalaman masing-masing dan yang dibenarkan oleh yang lainnya, mengenai bagaimana mereka itu telah dirugikan oleh orang-orang Madura. Bahkan mereka mengatakan bahwa bos-bos para preman adalah para kyai yang tokoh masyarakat Madura setempat atau mereka yang bergelar haji dan kaya.
Menurut mereka, luas tanah dari kebun dan dari sawah serta pekarangan atau halaman rumah mereka bisa bergeser semakin kecil dan menciut dari waktu ke waktu karena pagar atau batas tanah, yang berupa pagar hidup, digeser dari waktu ke waktu si tetangga yang Madura. Begitu juga padi di sawah, palawija, buah-buahan di pohon adalah mereka yang menanam tetapi yang memetik hasilnya adalah orang Madura. Mereka tidak berani untuk melarangnya karena takut diparang. Ayam dan itik tidak sempat bertelur, kata mereka, karena hilang dari kandang pada waktu binatang-binatang tersebut sudah menjadi besar, dan berbagai contoh lainnya yang amat banyak untuk disebutkan satu-persatu. Sealnjutnya mereka menunjukan kasus-kasus monopoli pelayanan transportasi di kota Sambas dan Singkawang misalnya, yang telah dilakukan dengan ancaman terhadap orang-orang yang bukan Madura yang melakukan kegiatan pelayanan transportasi. Ancaman tersebut bertujuan agar mereka yang bukan Madura meninggalkan kegiatan mereka itu. Juga pemalakan terhadap supir-supir angkutan umum yang bukan orang Madura, pemalakan atas usaha-usaha dagang dan bisnis, dan pemalakan terhadap warung-warung atau toko-toko, dan berbagai kegiatan pencurian dan pemerasan yang dilakukan oleh orang-orang Madura.
Orang-orang Madura, tua dan muda, laki-laki dan perempuan, selalu menyelipkan sebilah pisau atau badik di pinggang mereka pada waktu mereka itu berada ditempat-tempat umum. Seringkali mereka itu dengan sengaja menonjolkan senjata yang ada dipinggang mereka dengan tujuan untuk menakut-nakuti warga masyarakat yang ada di tempat-tempat umum atau pasar. Walaupun sudah ada larangan yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah kabupaten Sambas setelah peristiwa kerusuhan Dayak-Madura di Sanggoledo pada tahun 1996-1997, tetapi tetap saja orang-orang Madura di kabbupaten Sambas selalu membawa senjata tajam di tempat-tempat umum. Alasan mereka adalah bahwa pisau atau badik tersebut berfungsi sebagai pengganti tulang rusuk ketujuh, yang hanya ada enam buah. Orang-orang Madura selalu dengan sigap mencabut badik atau parang yang ada dipinggang mereka untuk menyelesaikan berbagai persengketaan yang mereka hadapi.
Oleh warga masyarakat setempat yang berasal dari berbagai sukubangsa, orang-orang Madura dikenal sebagai sebuah kelompok sukubangsa yang kuat solidaritas sosial di antara sesamanya dalam menghadapi orang luar yang bukan orang Madura. Menurut mereka, bila seorang Madura mengalami kesulitan karena yang bersangkutan bertengkar dengan warga setempat yang menjadi tetangganya maka orang-orang Madura lainnya yang menjadi sesama warga komunitinya akan membelanya sehingga orang Madura yang bersangkutan tersebut memenangkat pertengkaran atau konflik yang terjadi. Mereka tidak perduli apakah orang Madura yang bertengkar tersebut berada dipihak yang salah atau di pihak yang benar, pokoknya harus dimenangkan. Bahkan menurut seorang petugas kepolisian di Tebas, mereka juga pernah menyerang sebuah pos Polisi di Tebas dan Kantor Polsek Tebas. Bahkan di Pontianak, ibukota Kalimantan Barat, orang-orang Madura pernah menyerang kantor Polres. Orang-orang yang bukan Madura di kabupaten Sambas memperoleh kesan bahwa orang-orang Madura mempunyai prinsip satu untuk semua dan semua untuk satu. Prinsip tersebut telah digunakan oleh orang-orang Madura dalam upaya mereka untuk mendominasi kehidupan sosial, ekonomi dan politik di kabupaten Sambas dan di Kalimantan Barat pada umumnya. Pendominasian tersebut telah dilakukan oleh orang-orang Madura dengan cara-cara kekerasan dan kecurangan yang bertentangan dengan adat istiadat orang Melayu maupun adat istiadat Dayak yang berlaku setempat.
Orang-orang Melayu yang tidak terbiasa hidup dengan cara-cara kekerasan dalam memenangkan sesuatu persaingan menjadi ketakutan, dan lebih-lebih lagi dengan cara kekerasan yang curang (menurut orrang Melayu selalu menclurit atau menusuk pihak lawan dengan pisau dari belakang pada waktu satu lawan satu dan pada waktu siorang Melayu dalam keadaan lengah). Selama sekian puluh tahun dan sekian generasi orang-orang Melayu menekan rasa ketakutan dan frustasi dengan harapan bahwa penegak hukum akan dapat mengatasi ketidak adilan tersebut. Tetapi harapan mereka ternyata tidak pernah terlaksana. Bahkan menurut kesan orang-orang Melayu yang saya wawancarai, orang-orang Madura semakin merajalela yang membuat orang-orang Melayu dan mereka yang tergolong bukan orang Madura menjadi semakin ketakutan. Orang-orang Melayu memang takut menghadapi orang-orang Madura yang biasa menggunakan cara-cara kekerasan yang dilakukan secara curang. Mereka biasa melakukan cara-cara pengroyokan dan melukai lawan atau korbannya dengan senjata tajam. Pada dasarnya orang-orang Melayu adalah individualis-individualis yang tidak mengenal adanya solidaritas sukubangsa, seperti yang menjadi ciri-ciri dari orang Madura. Karena itu, dalam menghadapi orang-orang Madura didalam kehidupan mereka sehari-hari, mereka itu berada dalam posisi orang-perorang atau sendirian yang dihadapkan pada sebuah kelompok orang Madura yang bersenjata yang biasa menggunakan senjatanya dan mempunayai kemampuan untuk menghancurkan si Melayu. Orang-orang Melayu juga mengaku bahwa dalam berargumentasi mengenai sesuatu kebenaran dengan orang-orang Madura mereka itu selalu kalah, karena orang-orang Madura mempunyai acuan logika yang aneh dan kokoh atau dipertahankan secara keras kepala.
Salah seorang dari orang-orang Melayu di Pemangkat yang saya wawancarai menunjukan contoh bahwa, pada waktu dia menegur seorang tetangganya yang mengambil buah kelapa dalam jumlah banyak dari pohon-pohon kelapa yang tumbuh di pekarangan rumahnya, si tetangga Madura tersebut mengatakan bahwa dia telah diberi izin olehnya kemarin untuk mengambil buah kelapa yang dimilikinya. Si orang Melayu tersebut mengatakan: “itu kan kemarin, dan saya memberikan izin untuk mengambil satu atau dua buah kelapa untuk memasak lauk di rumah, dan bukannya untuk diambil dalam jumlah banyak untuk dijual kepasar”. Si orang Madura mengatakan: “izinnya tidak mengatakan kelapa yang saya ambil itu untuk masak atau untuk keperluan lainnya, dan juga tidak dikatakan berapa buah kelapa yang dapat saya ambil. Izin sudah kamu berikan kepada saya, apa kamu mau megingkari izin yang telah kamu berikan? Saya minta ganti rugi kalau tidak kamu izinkan, atau kamu akan saya sakiti kalau tidak diberi ganti rugi”. Sambil berkata-kata tersebut si tetangga Madura memegang gagang parangnya. Menurut cerita si orang Melayu selanjutnya, selama enam bulan si tetangga Madura tersebut menguras habis buah kelapa di pohon-pohon kelapa yang dimilikinya, tanpa dia mampu untuk menolaknya. Akhirnya si orang Melayu dan keluarganya memutuskan untuk pindah rumah ke Pontianak. Contoh lain adalah cerita seorang dosen Universitas Tanjung Pura, Pontianak, yang pulang ke rumah mendapati seorang Madura sedang memetik buah-buah jambu yang dipohon di halaman rumahnya. Dia bertanya: kamu mencuri buah-buah jambu saya, ya?” si orang Madura tersebut dengan tenang menjawab: saya tidak mencuri. Mencuri itu dilakukan pada malam hari, dan itu dosa. Saya hanya mengambil buah jambu”.
Kerusuhan Sambas dan Pemicunya
Frustasi sosial yang meluas dan mendalam karena merasa bahwa kehidupan mereka itu didominasi secara curang dan sewenang-wenang dan dengan cara kekerasan oleh orang Madura telah membuat orang Melayu hanya mampu menggerutu dan mengeluh. Tidak seorang pun di antara mereka, sebelum kerusuhan Melayu-Madura itu terjadi, yang berani menantang dominasi tersebut. Mereka hanya ikut bersorak sorai di dalam hati pada waktu terjadi kerusuhan Dayak-Madura di Sanggau Ledo pada tahun 1996-1997, dimana orang-orang Madura yang terbunuh cukup banyak jumlahnya. Kebudayaan dan kesukubangsaan orang Dayak berbeda dari yang dipunyai olehn orang Melayu. Corak kesukubagsaan orang Dayak mirip dengan corak kesukubangsaan yang dipunyai oleh orang Madura. Kebudayaan orang Dayak juga mirip dengan kebudayaan orang Madura. Orang Dayak mampu untuk melawan kekerasan orang Madura dengan kekerasan dan mampu untuk melawan kekejaman dengan kekejaman yang sama atau bahkan lebih kejam dari pada yang telah dilakukan oleh orang-orang Madura.
Menurut keterangan sejumlah tokoh Dayak dan tokoh Madura yang saya jumpai di Singkawang pada tahun 1999, antara tahun 1962-1999 telah terjadi kerusuhan berdarah sebanyak 11 kali. Kerusuhan dengan banyaknya korban yang terbunuh dan harta benda yang hancur yang diderita oleh kedua belah pihak adalah kerusuhan yang terjadi pada tahun 1996-1997 (lihat Suparlan 1998). Pada setiap konflik berdarah antara Dayak-Madura yang telah terjadi selama 11 kali tersebut, konflik selalu dihentikan dengan sebuah upacara perjanjian damai yang diwakili oleh para tokoh dari masing-masing pihak. Tetapi setiap perjanjian perdamaian Dayak-Madura yang telah dibuat sebanyak 11 kali tersebut selalu dilanggar oleh orang Madura yang dengan secara khilaf melukai atau membunuh orang Dayak dalam suatu persengketaan.
Orang Madura yang berani mati bukan hanya karena memang berani mati yang dikarenakan mempunyai prinsip “harga nyawa cuma sebenggol”, tetapi juga karena mereka itu percaya pada do’a dan jimat atau isim yang diberikan oleh para kyai atau guru mereka. Sedangkan orang Dayak memperoleh kekuataan dan keberanian dari roh-roh panglima perang yang menjadi nenek moyang mereka yang dapat dipanggil sewaktu-waktu untuk melindungi dan mempertahankan ketentraman kehidupan mereka. Untuk itu mereka harus melakukan upacara keagamaan yang dinamakan matok untuk memanggil tokoh panglima tersebut, yang dinamakan kamang tariu dimana kata tariu sebenarnya berarti teriakan , yaitu teriakan perang yang menggetarkan seluruh sendi tulang musuh yang mendengarnya, untuk merasuk ke dalam tubuh orang-orang Dayak yang memanggilnya yang merupakan anak-anak cucu dari kamang tariu atau si panglima perang. Dalam upacara tersebut persyaratan utama adalah menyembelih ayam jantan berbulu merah dan anjing berbulu merah untuk orang-orang Dayak Sungkung, Bengkayang, Selamatan, dan Seluas. Sedangkan untuk orang-orang Dayak di Jawai, Tebas, Pemangkat, Paloh dan sekitarnya yang disembelih adalah ayam jantan berbulu hitam dan anjing yang juga berbulu hitam. Darah hewan ini ditampung di sebuah mangkuk, sehingga mangkuk yang semula putih itu menjadi berwarna merah. Mangkuk berwarna merah dengan darah atau dikenal dengan nama ‘mangkuk merah’ inilah tanda bahwa orang Dayak sudah siap untuk berperang. Orang-orang Dayak yang berpartisipasi dalam upacara tersebut melantunkan do’a dan menari-nari dan menjilat darah dalam mangkuk atau menghirup baunya, yang dengan cara itu dipercaya bahwa kamang tariu telah merasuk kedalam tubuh mereka masing-masing. ‘mangkuk merah’ ini kemudian diedarkan kepada orang-orang Dayak lainnya yang tinggal dikomuniti yang bersangkutan maupun yang tinggal di komuniti-komuniti lainnya yang tersebar di kabupaten Sambas. Pengedaran ‘mangkuk merah’ ke komuniti-komuniti Dayak di daerah pedesaan yang luas adalah dimaksudkan bahwa peperangan telah siap untuk dijalankan dan solidaritas Dayak diminta untuk diwujudkan dalam bentuk partisipasi mereka di dalam kancah peperangan. Pada waktu peperangan telah berakhir, seperti yang terjadi antara orang Dayak melawan Madura, maka roh kamang tariu atau panglima perang itu harus dikembalikan ketempat peristirahatannya yang semula. Untuk itu perlu diadakan upacara lagi yang biayanya lebih mahal dari pada upacara memanggil kamang tariu. Menurut keterangan seorang tokoh Dayak yang tinggal di Singkawang upacara pengembalian roh-roh kamang tariu itu harus dilakukan agar para roh tersebut tidak mengganggu kehidupan sehari-hari orang Dayak yang mencintai kehidupan dan kedamaian dengan sesama baik yang terlihat maupun yang tidak dan baik dengan manusia maupun dengan sesama mahluk lainnya.
Berbeda dengan konflik antara orang Dayak dengan orang Madura yang telah terjadi sebanyak 11 kali, maka konflik antara orang Melayu dengan orang Madura hanya terjadi sekali yang berupa konflik berdarah antar dua sukubangsa ini secara besar-besaran dan menyeluruh serta habis-habisan. Kesan saya, dari kerusuhan-kerusuhan yang terjadi, yang sempat saya amati di wilayah Sungai Raya, adalah mengamuknya tokoh seperti Hang Jebat dalam cerita hikayat Hang Tuah. Orang-orang Melayu yang biasanya lemah lembut budi pekerti serta tutur sapanya dan penakut, telah berubah menjadi beringas dalam dalam kelompok-kelompok amuk massa yang tidak dapat dibendung atau dikendalikan lagi dalam upaya untuk menghancurkan orang-orang Madura dengan segala harta bendanya yang ada setempat. Keberingasan orang-orang Melayu, khususnya para remaja dan pemudanya, telah dipicu oleh peristiwa “Parit Setia” dan oleh sejumlah peristiwa yang sama yang berturut-turut terjadi setelah itu.
Pada tanggal 19 Januari 1999, tepat pada hari Raya Idul Fitri, warga masyarakat desa Parit Setia, kecamatan Jawai diserang oleh kira-kira 200an orang Madura dari desa Sarimakmur, kecamatan Tebas yang bertetangga dengan kecamatan Jawai. Tiga orang penduduk desa Parit Setia dibunuh dan sejumlah lainnya luka-luka. Dua orang Polisi yang menghadang orang-orang Madura tersebut dibuat tidak berdaya dan semua senjata mereka dirampas. Peristiwa “Parit Setia” tersebut bermula dari peristiwa yang telah terjadi sebelumnya, yaitu pada tanggal 17 Januari 1999, dimana seorang pencuri asal Madura dari desa Sarimakmur, kecamatan Tebas, tertangkap basah oleh tuan rumah pada waktu sedang mengumpulkan barang-barang di rumah dari penduduk setempat setelah mebongkar pintu rumah tersebut. Pencuri sial tersebut dikeroyok, ditangkap, dan dipukuli sampai babak belur oleh tuan rumah yang kecurian dan oleh para tetangganya. Pada pagi harinya, tanggal 18 Januari 1999, pencuri tersebut diserahkan kepada Pos Polisi setempat. Petugas kepolisian di Pos Polisi membawa si pencuri ke Puskemas untuk diobati luka-lukanya, dan setelah itu disuruh pulang. Alasannya karena Polisi tersebut tidak berani menanggung resiko kalau Pos Polisi diserang dan dihancurkan oleh orang-orang Madura lainnya.
Apa yang menyakitkan hati orang-orang Melayu dari peristiwa penyerangan di desa Parit Setia oleh orang-orang Madura dari desa Sarimakmur adalah teriakan ‘Allah hu Akbar’ berkali-kali yang dikumandangkan oleh para penyerang tersebut. Teriakan ‘Allah hu Akbar’ ini dibarengi dengan teriakan-teriakan ejekan “Melayu Kerupuk” dan “Melayu Kalah 3-0” (artinya orang Melayu di desa Parit Setia meninggal 3 orang dan tidak satupun orang Madura yang meninggal ataupun terluka dalam penyerangan tersebut). Teriakan-teriakan ini terdengar dengan jelas oleh orang-orang Melayu warga desa Parit Setia yang bersembunyi di semak-semak belukar di desa itu dan menyaksikan pawai kemenangan orang-orang Madura yang dengan berkendaraan truk berkeliling desa. Para pemuda Melayu dari desa-desa di kecamatan-kecamatan yang berdekatan dengan kecamatan Jawai menjadi resah dan bersiap-siap untuk menyerang desa Sarimakmur, dan menghancurkan rumah-rumah orang Madura. Berkat hambatan dan cegahan dari orang-orang tua mereka, maka upaya para pemuda dan remaja Melayu itu dapat digagalkan. Pada tanggal 23 Januari 1999 berkat bantuan dari para pejabat di kabupaten Sambas dan tokoh-tokoh Melayu, para tokoh desa masyarakat Parit Setia dan desa Sarimakmur di pertemukan dan diadakan perdamaian. Suasana yang panas telah menjadi reda berkat perjanjian perdamaian tersebut, walaupun orang-orang Melayu masih memendam rasa sakit hati karena tidak sepatah kata ‘minta maaf’ pun yang dilontarkan oleh pihak orang Madura atas kematian dan luka-luka yang diderita oleh warga desa Parit Setia.
Pada tanggal 21 Januari seorang preman Madura yang naik kendaraan umum dari kota Singkawang ke arah kota Sambas tidak mau membayar biaya angkutan pada waktu dia berhenti di dekat desa Semparuk. Merasa sakit hati karena dipelototi oleh kenek dan supir yang orang Melayu, si preman Madura tersebut pulang ke rumah mengambil clurit. Dengan berbekal clurit dia menghadang kendaraan umum tersebut yang kembali ke arah kota Singkawang, menyuruh kendaraan tersebut berhenti dan menclurit si kenek. Pada jam 01.00 tanggal 22 Januari 1999, keesokan harinya, orang-orang Melayu di desa Semparuk yang sebagian besar adalah para pemuda dan remaja menyerang rumah si preman Madura yang bernama Rodi bin Muharap. Tetapi Rodi bin Muharap tidak ditemukan dan sebaliknya seorang pemuda Melayu meninggal dunia karena ditembak dengan menggunakan senjata lantak oleh orang-orang Madura teman Rodi. Peristiwa kematian pemuda Melayu tersebut membakar kemarahan para pemuda dan remaja Melayu yang sudah tidak dapat dikendalikan lagi oleh orang-orang tua mereka. Pada jam 02.00 pagi hari itu juga mereka menyerang dan membakar serta menghancurkan rumah-rumah dan ruko-ruko milik orang Madura yang ada di desa-desa dan pinggiran kota di wilayah kecamatan Tebas, Pemangkat, dan Jawai. Sejumlah orang Madura meninggal dunia dan luka-luka, dan tercatat 60 buah bangunan rumah dan ruko yang dihancurkan. Kegiatan untuk menghancurkan orang-orang Madura dan rumah-rumah serta harta benda mereka berlangsung terus sampai tanggal 27 Februari 1999.
Pada tanggal 27 Februari 1999 penyerangan orang-orang Melayu terhadap orang-orang Madura dihentikan atas perintah orang tua dan tokoh-tokoh Melayu di Sambas, karena pada hari itu ditanda tangani perjanjian perdamaian orang Melayu-orang Madura oleh para tokoh dari kedua belah pihak dengan disaksikan oleh pimpinan dan para pejabat kabupaten Sambas. Tokoh-tokoh dari kedua belah pihak juga sepakat untuk masing-masing secara individual tidak membawa senjata tajam di tempat-tempat umum. Tetapi perjanjian tersebut dilanggar oleh seorang Madura asal desa Sempadung yang pada tanggal 14 Maret 1999 menikam seorang pemuda Melayu yang menegurnya karena membawa parang secara terbuka di jalan umum. Hari itu juga orang-orang Melayu mengambil tekad tidak akan lagi berdamai dengan orang-orang Madura. Sejak saat itu juga perang antara para pemuda Melayu dengan orang-orang Madura berlangsung di desa-desa dan di kota-kota dalam wilayah kabupaten Sambas. Kalau sebelum peristiwa ini orang-orang Madura yang menyerang orang-orang Melayu yang ketakutan, maka keadaannya sekarang menjadi terbalik. Kampung-kampung orang Madura di kota Singkawang dan di desa-desa yang tercakup dalam tiga kecamatan di bagian selatan dari kota Singkawang secara relatif masih aman karena belum diserang habis-habisan oleh orang-orang Melayu sampai dengan minggu ke-empat bulan April 1999. sedangkan di wilayah timur dan utara di kabupaten Sambas keadaannya dapat dikatakan sudah tidak ada lagi orang Madura dan rumah serta harta milik mereka yang utuh. Orang-orang Madura tersebut dengan cepat diungsikan dengan pengawalan ketat oleh para petugas keamanan untuk menghindari jumlah korban yang lebih besar daripada yang sudah ada.
Kerusuhan berdarah antara orang Melayu dengan orang Dayak nampaknya tidak cukup bagi orang Madura. Karena mereka itu masih mencari musuh lainnya, yaitu orang Dayak yang telah menjadi musuh bebuyutan mereka. Pada tanggal 16 Maret 1999, pukul 15.00 waktu setempat, di dusun Parakan Tanjung (yang merupakan dusun yang komunitinya secara homogen terdiri atas orang-orang Madura), dari desa Harapan, kecamatan Pemangkat, sekelompok orang Madura mencegat sebuah kendaraan umum yang melintas di jalan raya di tepi dusun tersebut. Kendaraan umum tersebut dalam perjalanan mengangkut buruh dan pekerja dari daerah kecamatan kota Sambas ke arah kota Singkawang. Dalam kendaraan umum tersebut terdapat dua orang Melayu, tiga orang Jawa dan 26 orang Dayak. Kesemua penumpang dapat melarikan diri dan bersembunyi di semak dan belukar di tepi hutan dan kemudian diselamatkan oleh orang-orang Melayu di desa Melayu yang berdekatan, kecuali satu orang Dayak yang dapat ditangkap oleh orang-orang Madura dan dibunuh di tempat itu juga. Orang Dayak yang dibunuh oleh orang Madura tersebut, Martinus amat bin Paran, adalah warga desa Selawit, kecamatan Salamantan, yang terletak di sebelah timur kota Singkawang.
Kematian Martinus telah menyebabkan keluarga dan orang-orang Dayak melakukan upacara matok dan mengedarkan ‘mangkuk merah’ kekomuniti-komuniti Dayak lainnya di kabupaten Sambas. Penyerangan terhadap orang-orang Madura sekarang ini tidak lagi hanya dilakukan oleh orang-orang Melayu tetapi juga oleh orang-orang Dayak dengan cara-cara seperti pada waktu masih berlakunya pengayauan, dengan cara-cara pemenggalan kepala dan mutilasi tubuh serta kanibalisme. Situasi masyarakat kabupaten Sambas betul-betul rusuh. Petugas keamanan dari Polri dan Brimob serta PHH (pasukan Anti Huru Hara dari ABRI) tidak mampu untuk mengatasi kerusuhan dan pembunuhan serta pembakaran dan penghancuran rumah-rumah orang Madura. Orang-orang Madura di timur kota Singkawang, yaitu di daerah Bengkayang dan sekitarnya, habis dibunuh oleh orang-orang Dayak atau lari mengungsi ketempat-tempat penampungan pengungsian dan berada dibawah perlindungan petugas keamanan. Setiap hari pada waktu itu selalu terdengar berita dibunuh atau dilukainya orang-orang Madura serta pembakaran rumah dan harta benda mereka. Korban yang terbunuh dan luka-luka bukannya hanya orang Madura tetapi juga orang-orang Melayu dan Dayak walaupun jumlahnya relatif sedikit. Jumlah pengungsi Madura yang tercatat di tempat-tempat penampungan pengungsi di Pontianak dan di kota Singkawang ada 37.000 orang. Orang-orang Melayu dan Dayak di kabupaten Singkawang telah bertekad untuk menghancurkan atau mengusir orang Madura dan berbagai atributnya dari wilayah kabupaten Sambas. Cara-cara yang mereka lakukan adalah dengan kekerasan, karena menurut mereka orang Madura hanya mengerti bahasa kekerasan. Karena situasinya yang rusuh ini, Kapolda Kalimantan Barat pada bulan April 1999 mengeluarkan perintah tembak di tempat bagi para perusuh dan menangkap siapa saja yang kedapatan membawa senjata tajam di tempat-tempat umum.

Sumber: 

http://etnobudaya.net/2009/09/29/konflik-antar-sukubangsa-melayu-dan-dayak-dengan-madura-di-kab-sambas-kalbar/

Tidak ada komentar: